Powered By Blogger

Senin, 23 Desember 2013

Novel Sky Power

Chapter 3

Dian mengucap salam sambil dijawab sosok ibu-ibu yang keluar menyambut Dian. "Eh Dian sudah pulang?" kata wanita paruh baya tersebut. "Iya bunda"

"Makan dulu yuk, bunda masak spesial buat kamu. Tenang saja, barang-barang kamu sudah bunda packing kok!" kata sang ibu. "Ah bunda, jadi repot gitu" guman Dian. "Sudah gak apa-apa, cuma sedikit kok" Kata bunda.

"Terima kasih ya bunda, ya sudah Dian ganti baju dulu bunda" ucap Dian. "Ya sudah, bunda tunggu di ruang makan ya."

Bunda menuju ruang makan, sementara Dian pergi ke kamarnya. Dian menatap kamar yang telah ditinggalinya sejak kecil. 18 tahun sudah ia lewati di panti asuhan yang telah membesarkannya tersebut. Mungkin ini adalah saat terakhir baginya merasakan kamar yang penuh kenangan baginya.

Pandangan Dian mengarah pada keranjang bayi yang tersimpan di pojok kamar. Benda inilah yang mengantar Dian pada panti asuhan yang selama ini Dian tinggali tanpa tahu siapakah kedua orang tua yang tega meninggalkannya. Diambilnya sepucuk surat yang merupakan satu-satunya barang yang mungkin akan menjadi penunjuk dimanakah keberadaan kedua orang tuanya kini.

Ingatan Dian tertuju pada masa 11 tahun silam di saat ia berusia 7 tahun.

"Bunda, Dian boleh tanya sesuatu gak?" tanya Dian kecil yang saat itu baru kelas 2 SD pada Bunda Dewi, ibu angkatnya. "Ada apa sayang, kok pulang sekolang mukanya cemberut begitu?"

"Sebenarnya, siapa orang tua Dian bunda? Apakah mereka masih hidup? Mengapa mereka tidak pernah menemui Dian?" Bunda Dewi tercegat dengan pertanyaan Dian.

"Kok Dian nanya seperti itu?" sergah Bunda Dewi. "Habis teman-teman Dian di sekolah punya orang tua semua, tapi kenapa Dian tidak?"

"Bunda sudah menyayangi Dian seperti anak bunda sendiri, apa Dian tidak sayang sama bunda?" Ucap Bunda Dewi mencoba menenangkan Dian sambil membelai rambut Dian dengan penuh kasih sayang.

"Dian sayang bunda, tapi Dian mau tahu saja Bunda" kata Dian yang masih berwajah murung dalam pelukan Bunda Dewi.

"Sebenarnya bunda juga tidak tahu sayang. Bunda menemukan kamu sudah tergeletak di teras rumah ini. Waktu itu hujan besar, bunda menemukan kamu menangis dalam keranjang bayi. Tapi bunda tidak tahu siapa yang telah menaruh kamu. Bunda cuma menemukan sepucuk surat ini di samping tubuh kamu. Surat ini berisi bahwa kedua orang tuamu terpaksa menitipkan kamu ke sini karena mereka ingin menyelamatkan kamu. Mereka bilang keadaannya sedang berbahaya. Mereka juga berjanji suatu saat nanti, mereka akan menjemput kamu jika keadaannya sudah membaik. Mereka juga berjanji akan membiayai kehidupan kamu sampai perguruan tinggi. Tapi belum bisa menemuimu sekarang ini."

***
"Dian, sudah ganti baju?" panggilan bunda Dewi memecah lamunan Dian tentang masa lalunya. "Iya bunda!" sambil membereskan surat dan keranjang bayinya serta berusaha mengelap air matanya yang menetes.

"Kok masih belum ganti baju juga, ya sudah cepetan. Nanti  makanannya keburu dingin." Bunda kembali ke ruang makan.

18 tahun sudah Dian lewati sisa umurnya. Namun janji kedua orang tuanya untuk menjemput ataupun sekedar menemuinya belum juga ia rasakan. Dian mengganti bajunya dan segera menemui sang bunda.

Di ruang makan, bunda beserta anak-anak panti asuhan lainnya telah menunggu.

"Sini Dian, di samping bunda" seru bunda meminta Dian duduk di sampingnya. "Ada acara apaan sih bunda, kok rame banget kayaknya?" tanya Dian yang agak keheranan. "Biasa saja kok, anggap saja ini acara perpisahan sama kamu" seru sang bunda.

"Kak Dian mau pergi ya?" ucap Rizky, anak 8 tahun di seberang meja makan. "Kalau kak Dian pergi, rumah ini jadi sepi" sahut Anisah gadis 7 tahun di sampingnya. "Betul, nggak ada yang bantuin aku ngerjain PR" sambung Irfan, bocah 8 tahun di samping Rizky.

"Hush, gak boleh begitu. Kak Dian pindah supaya sekolahnya dekat. Makanya kalian yang rajin sekolahnya, biar pintar kaya Kak Dian" tegur Bunda Dewi.

"Kalian tidak usah khawatir, Kakak pergi cuma untuk kuliah saja kok, kalau liburan juga kakak pasti ke sini."

Suasana tempat makan semakin riuh dengan selingan tawa canda mereka. Dian kembali berangkat ke tempat kostnya dengan membawa barang-barang yang sudah ia pack sambil pamit pada bunda Dewi beserta penghuni panti asuhan lainnya.

***
Suasana riuh aktifitas mahasiswa kembali menghiasi kampus. Dian tengah duduk di sebuah kantin, menunggu temannya. Dan tiba-tiba temannya datang.

"Hey, sudah lama nunggu?" kata Putri sambil duduk di samping teman yang telah menunggu tersebut.
"Kamu kemana saja Put, lama banget?" sahut Dian yang kesal nunggu lama.
"Maaf, biasa, dosennya ngaret. Ini aja baru keluar" jawab Putri.

"Heh, kamu ngekost kok gak bilang-bilang sih?" seru Putri.
"Emangnya kenapa?"

"Ya kalau kamu punya rencana ngekost, kenapa nggak ngekost bareng aku saja?" ujar Putri.

"Ya maaf, aku nggak sempat berfikir kesitu. Gampanglah, nanti kalau nggak betah ntar pindah ke kamu deh." Mereka makan bersama di kantin.

Di tempat lain, Ferry dan teman-temannya sedang berkumpul di sebuah kantin yang berbeda.

"Bagaimana masalah buku kemarin, sudah dibalikin belom?" tanya Haris pada Ferry.
"Sudah donk" jawab Ferry singkat. "Dapat nomer HPnya?" sambung Haris. "Nggak!"

"Huh, lho tuh payah amat sih Fer. Masa kenalan nggak minta nomer sekalian, gimana ketemuannya?" kata Firman.

"Bawel amat sih lho, kalau emang jodoh nanti juga ketemu lagi" sahut Ferry enteng.

"Kayaknya ini anak perlu kita ajari bagainana caranya menjadi pejantan tangguh" seru Lukman disambut riuh tawa teman-temannya.

***
Ferry pulang ke rumahnya sekitar pukul 10 malam. Ia baru saja pulang dari kost temannya. Namun sesampainya di sebuah terminal yang sudah agak sepi, ia dihadang gerombolan pemuda. Ia mempercepat jalannya namun dicegat oleh para preman tersebut.

"Hei, mau kemana lho, buru-buru amat?" ucap salah satu preman mencegat Ferry yang semuanya berjumlah 5 orang.

"Maaf bang, saya buru-buru nih" kata Ferry.

"Wah, jaket lho bagus juga tuh? Keluarin dompet dan HP lho, cepat!" bentak preman satunya lagi.

"Jangan donk bang, ini bukan punya saya." Tukas Ferry yang mulai ketaktan. Ia terus mencoba menghindar saat digeledah.

"Heh, lho berani sama gue hah?" bentak seorang preman. Preman tersebut lalu melayangkan pukulannya ke wajah Ferry.

"Duuaakkhh...!!"
Ferry terhuyung ke belakang, namun masih bisa menjaga keseimbangan untuk tidak jatuh.

Meski mencoba melawan, Ferry nampaknya tak mampu menandingi karena kalah jumlah. Pukulan kedua kembali mengarah ke wajahnya, namun masih bisa dihindari. Seorang dari belakang berhasil menangkap dan membekap lehernya. Pukulan kembali mengarah telak ke bagian perutnya. Ferry kembali meringis kesakitan.

"Berani lho ya? Mau cari mampus lho?" sergap seorang preman sambil kembali mengayunkan pukulannya.

Duuaakhh...
Pelipis kiri menjadi sasaran. Darah mulai mengalir dari pelipis kirinya. Ferry masih mencoba berontak sambil menahan sakitnya.

Tiba-tiba...?

Bruuaakh...!!!
Sebongkah kayu dengan telak menghantam tengkuk seorang preman yang menjaga Ferry. Preman tersebut terjatuh meringis kesakitan akibat hantaman keras kayu barusan. Ferry terlepas dan jatuh tertelungkup. Keempat preman lainnya kaget mendapat serangan mendadak tersebut.

"Heh, siapa lho? Beraninya ikut campur urusan gue!" bentak seorang berbadan paling besar yang nampaknya ketua semua preman tersebut.

"Pengecut lho semua! Berani cuma keroyokan!" ucap pria yang barusan menghantamkan balok kayu tersebut.

"Gue benci sama orang sok jagoan yang suka ikut campur urusan orang kaya lo..!!"

Lalu, keempat preman tersebut menyerang orang yang mengganggunya tersebut.

Serangan sebuah tongkat kayu seorang preman mengarah ke pria misterius namun berhasil ditangkis kayu di tangannya. Serangan datang dari sisi lain namun berhasil dihindari. Serangan balik berkecepatan tinggi tak bisa dihindari ataupun ditangkis preman hingga berhasil menghantam pelipis kanannya. Sang preman terhuyung. Serangan kedua mengenai samping kepala preman hingga satu preman kembali terjatuh.

Tiga preman lainnya kembali menyerang secara bersamaan. Namun sang pria misterius nampaknya sangat ahli dalam bela diri.

Dua preman selanjutnya berhasil dilumpuhkan. Sementara satu ketua preman yang tersisa menghunus tongkat yang ternyata sebilah samurai. Ia menyerang dengan pedangnya secara membabi buta. Namun setiap serangannya selalu berhasil dihindari.

Serangan terakhir hampir mengenai sasaran. Namun berhasil ditangkis oleh tongkat yang digenggam sang pria misterius. Ketajaman, kekuatan serta kecepatan ayunan pedang tersebut membot patang tongkat yang sang pria misterius tadi gunakan.


To Be Continued

Novel Sky Power

Chapter 2

Berita kecelakaan maut yang dialami dr. Sigit dan istrinyadr. Asih sampai juga ke telinga keluarga bapak Sidik. Mereka menuju rumah sakit tempat jenazah anak mereka.

Istri pak Sidik yang terus menangis sepanjang perjalananakhirnya pingsan tak kuat menahan guncangan jiwa ketika melihat wajah anak danmenantunya pucat terbujur kaku. Kepedihan mendalam juga dirasakan Ferry yangberada dalam gendongan kakeknya. Ia terus menangis sambil menyebut-nyebut ayahdan ibunya.

Ferry diasuh oleh kakek dan neneknya yang merupakanpengusaha kain dan juga kolektor benda-benda pusaka. Beruntung ia masih bisameneruskan pendidikan sampai kuliah berkat dana asuransi dan santunan serta beasiswa.

Ferry tumbuh menjadi pemuda tampan. Ia dikenal sebagai siswayang pintar di kelas namun pemalas dan sangat jahil. Beberapa kali pihaksekolah harus memanggil kakeknya sebagai wali murid karena ulah nakalnya.

Beruntung pihak sekolah masih bisa memakluminya, karena iasebenarnya cerdas. Mungkin hidup tanpa ditemani sosok kedua orang tua membuatkarakternya seperti ini.

Kini Ferry telah berusia 19 tahun. Ia kuliah di PTN Jakartasemester 3. Sifat jahil waktu SMA mulai ia tinggalkan. Ia kini mulai bijakdalam bertindak dan sangat peduli terhadap sesama.

Berbagai aktifitas para mahasiswa menghiasi suasana kampusyang cukup ramai.

Ferry sedang asik ngobrol dengan teman-temannya di sebuah kantin. Tiba-tiba seorang mahasiswi menghampiri.

"Permisi mas"
"Oh, silahkan", gadis tadi meletakkan tas dan bukunya untuk membuka kulkas dan mengambil sebotol minuman dingin.

"Ini berapa?" sang gadis menunjukkan minuman yang ia pilih. "Tujuh ribu neng!" ucap pemilik kantin. Sang gadis membayar dan pergi membawa tas yang tadi ia letakkan.

Firman melihat ada sesuatu yang ditinggalkan oleh gadis tadi. "Fer, itu buku kamu?" tanya Firman. "Buku yang mana?" Ferry bingung. "Itu di depan lho." Firman menunjuk buku yang dimaksud Firman.

"Ini mah buku cewek yang tadi ke sini" Ferry memeriksa buku tersebut.

"Yah, ceweknya sudah pergi" Haris yang duduk di depan Ferry angkat bicara. "Kemana tuh cewek?" sahut Lukman yang duduk samping Haris. "Mana gue tahu?" jawab Haris.

"Tuh cewek ijinnya ke kamu Fer, jadi kamu yang tanggung jawab balikin buku itu" kata Firman yang ada di sampingnya.

"Gak mau ah, gak ada nama atau petunjuk sama sekali.Gimama nyarinya?" sahut Ferry.

"Mang, ini buku titip di sini saja ya, tar juga dia kesini lagi" ucap Ferry pada pemilik kantin.
"Sudah bawa saja."kata pemilik kantin.
"Nggak mau ah", "Mamang takut lupa Fer. Bawa saja, siapa tahu ketemu di jalan, kalau dia nyari ke sini tar aku sms deh, atau ku suruh dia telfon kamu." tambah si mamang.

"Lho polos banget sih Fer. Ku perhatiin tu cewek lumayan cantik loh, kali aja bisa kenalan" Haris memaksa Ferry membawanya."Jangan-jangan lo abnormal ya Fer?" kata Firman disambut gelak tawa semua temannya.

"Hahaha.. Cakep-cakep lengkong" Haris menambahkan."Brengsek lho semua." sahut Ferry dengan wajah rada kesal. 

Suasana menjadi riuh berhiaskan gelak tawa diantara mereka.Namun mereka akhirnya membubarkan diri untuk melanjutkan aktifitas masing-masing.

**
Ferry melewati sebuah lorong menuju ruang kelasnya untuk mengikuti perkuliahan. Setibanya di suatu lorong, ia melihat sosok gadis yang ia temui di kantin barusan. Gadis yang memakai baju merah terusan sampai lutut dengan celana jeans sebagai bawahannya tersebut tengah sibuk memilah dan mencari sesuatu. Hal itu membuat Ferry yakin inilah gadis yang ia cari. Ferry lalu mendekatinya.

"Hey, lagi sibuk ya?" sapa Ferry agak mengagetkan si gadis.
"Ah, iya" sang gadis sejenak menoleh ke arah sosok yang menyapanya. Namun kembali menenggelamkan diri dalam kesibukan mencari suatu benda yang belum juga ia temukan.

"Ini yang kamu cari?" Ferry menunjukkan sebuah buku yang ia bawa dari kantin tadi.
"Loh, kok bisa ada di kamu ya?" sang gadis kaget melihat benda yang ia cari ada di tangan pemuda tersebut.

"Kamu tuh cantik-cantik pelupa ya! Tadi kamu meninggalkan buku ini waktu beli minuman di kantin, ingat?" jelas Ferry.

"Oh ya, aku ingat. Terima kasih ya." Ia mengambilbukunya dan langsung pergi "Maaf, aku harus masuk kelas."
"Hey,tunggu dulu." Ferry mencegahnya. "Apa lagi?" kata sang gadis.

"Kalau kita ketemu lagi, aku harus panggil kamu siapa?" gadis tersebut tersenyum malu mendengar ucapan lembut Ferry.

"Aku Ferry" dengan menawarkan tangannya lalu disambut tangan sang gadis dan tersebut sebuah nama "Dian".

"Ya sudah aku masuk dulu ya!" pinta Dian."Hey, mau kemana?" Ferry kembali mencegahnya.

"Ada apa lagi?" sahut Dian agak kesal.
"Sejakkapan kamu ikut kelasku?" kata Ferry menyadarkan. Dian tersadar dan memperhatikan sekelilingnya.

"Astaga, aku salah kelas. Maaf aku lupa. Permisi permisi...!!" Dian nylonong meninggalkan Ferry menuju kelasnya. Sesekali ia menoleh ke belakang pada Ferry sambil tersenyum dan tersipu malu.

"Dasar cewek yang aneh!" guman Ferry memperhatikantingkah konyol gadis yang baru ia kenal tersebut.

***
Metromini melaju mencari, mengantar dan menurunkan menumpang. Ferry masuk ke dalam metromini tersebut untuk mengantarnya pulang kerumah.

Dua menit kemudian, metromini menjadi penuh. Beruntung ia masih mendapat jatah tempat duduk.

Beberapa menit kemudian ia melihat gadis berdiri disampingnya karena tak kebagian tempat duduk. Gadis tersebut ternyata Dian.Gadis yang baru saja ia kenal.

Ferry berdiri meninggalkan tempat duduknya. "Hei,duduk..!!" menawarkan Dian duduk.
"Ah, kamu" Dian terkejut bertemu kembali dengan pria tersebut. Ia mencoba menolak.
"Nggakusah", namun Ferry memaksa.
"Dimana sopan santunku duduk santai membiarkan seorang wanita berdiri." Dian tersenyum dan menerima tawaran dari Ferry "Terima kasih ya."

Namun Dian hanya sejenak menempati tempat duduk tersebut. Ia merasa iba melihat ibu-ibu yang menggendong anaknya berdiri tak mendapatkan jatah kursi penumpang. Dian akhirnya kembali berdiri merelakan tempat duduknya untuk sang ibu yang menggendong anaknya tersebut.

Suasana metromini semakin sesak oleh penumpang. Mereka yang tak mendapat tempat duduk terpaksa harus Berdiri berdesakan dengan penumpang lain.

Ferry yang berdiri persis dibelakang Dian tak bisa menghindar ketika Dian terus terdorong oleh penumpang lain di depannya. Bahkan kini sudah tidak tersisa lagi jarak diantara mereka.

Ferry mulai merasa gugup dengan keadaannya, sementara wajah Dian terlihat mulai memerah entah menahan malu, gugup atau perasaan asing lainnya.Jalan ibu kota memang bisa dibilang rata, namun bukan berarti tanpa guncangan. Ulah sang sopir yang terkadang mengerem mendadak maupun tarik gas tiba-tiba membuat tubuh mereka seolah-olah menyatu.

Sambil tersenyum malu, Dian menoleh ke belakang. Ferry pun hanya bisa tersenyum menahan gugupnya. Dalam angan singkatnya, Dian seakan berharap sosok di belakangnya tersebut melingkarkan tangannya ke tubuhnya persis seperti apa yang dilakukan Jack Dawson yang di perankan oleh Leonardo Dicaprio pada kekasihnya Rose Dewitt yang diperankan oleh Kate Winslet di atas kapal Titanic yang tengah melaju.

Kondisi jalan ibu kota yang macet membuat perjalanan memakan waktu lebih lama. Beberapa menit kemudian, para penumpang banyak yang turun terutama ketika sampai di sebuah pasar tradisional. Dian akhirnya sudah bisa duduk di jok yang kosong. Begitu juga dengan Ferry yang duduk di sampingnya.agak lama mereka terdiam.

"Hei, perasan aku baru pertama ini deh melihat kamu di kampus!" ucapan Ferry memecah keheningan diantara mereka. "Aku memang baru masuk tahun ini, semester 1" jawab Dian.
"Pantesan, aku semestr 3 jurusan IT" Sahut Ferry.
"Nggak nanya tahu!" kata Dian sambil tertawa. "Eh, kamu tuh nyebelin banget sih?" seru Ferry yang cemberut.

"Bercanda kok, gitu aja cemberut!" goda Dian sambil mencubit lengan Ferry. "Kamu ke kampus naik selalu metromini?" tanya Ferry. "Nggak juga, kebetulun aku baru pindah kost. Banyak barang yang belum diambil." jawab Dian.
"Eh maaf, pertanyaanku tadi apa ya?" Ferry mencoba kejahilan Dian. "Dasar nyebelin...!" Dian sewot sambil kembali mencubit lengan Ferry lebih keras. Ferry meringis kesakitan namun tertawa puas karena berhasil membalas kejahilan Dian.

Perjalanan terus berlanjut mengantar para penumpang menuju tempat tujuan masing-masing. Dian turun di suatu persimpangan. Ia berjalan menyusuri jalan sekitar 100 meter dari tempat dia turun dari metromini. Ia masuk ke sebuah rumah tempat tujuannya.

To Be Continued

Novel Sky Power

Chapter 1


Sinar mentari baru saja menampakkan kilaunya. Mengabarkan sebuah isyarat bahwa aktivitas di hari ini siap untuk dilalui. Para penduduk pinggir kota Jakarta sudah mulai menampakkan kesibukan mereka masing masing.

Cerita ini akan kita mulai dari kehidupan sebuah keluarga di daerah pinggir kota Jakarta. dr. Sigit beserta istrinya sedang mempersiapkan rencana keberangkatan mereka menuju ke kota Malang, Jawa Timur.

"Bu, tolong masukan berkas uji laboratorium ke tas ya…!!"pinta dr. Sigit pada istrinya. "Yang ada di atas meja bukan pa?" tanya sang istri. "Ya bu…!!!" seru dr. Sigit sambil menaruh koper isi pakaian di bagasi mobil. Tiba-tiba anak dr. Sigit yang baru berusia 4 tahun bernama Ferry muncul menemuinya. "Papa...". "Hei, jagoan kecil papa sudah bangun." dr. Sigit menggendong, memeluk dan mencium gemas putranya tersebut. "Papa sama mama perginya berapa lama?" tanya Ferrypada papanya. "Sebentar kok sayang, cuma 3 hari." sahut dr. Sigit.

"Lho kok malah ke sini Ferry sayang?" tiba-tiba sang ibu menghampiri. "Ferry mau bantu papa mengangkat koper ma."celoteh si balita menggemaskan tersebut. "Tidak usah sayang, itu kan berat?" ucap sang ibu.

"Tapi aku pengen coba ma, biar pas gede aku kuat kaya spiderman" sang ibu hanya bisa tertawa gemas menyaksikan tingkah lucu buah hatinya tersebut.

"Ferry, nanti pas mama papa pulang, Ferry minta dibeliin apa?" dr. Sigit nampak telah selesai mengepak barang di mobil."Aku mau dibeliin apel" sahut Ferry dengan tegas.
"Kok apel?"ayahnya bertanya.
"Habis, mama bilang, katanya mama sama papa mau pergi ke kota Malang, terus mama pernah cerita kalau Kota Malang itu terkenal dengan sebutan kota apel, jadi aku mau oleh-oleh apel."
"Pinternya anak papa" puji dr. Sigit sambil mencubit hidung putranya namun Ferry dengan sigap menghindar sambil tertawa kecil.

"Belinya yang banyak ya pa" ucap Ferry.
"Lho,emang buat apa beli banyak-banyak sayang?" kata mamanya. "Kan buatopa dan opa!"
"Hush... Opa dan oma tidak usah dikasih apelnya, giginya sudah pada ompong, buat kamu saja semua apelnya." kakeknya datang sambil mengelitiki sang cucu yang karuan saja tertawa kegelian dan nenek munculmenghampiri mereka.

"Eh ternyata cucu oma ada di sini, kok sarapannya tidakdihabiskan?" kata nenek. "Udah kenyang omah." jawab Ferry yangmasih digendong mamanya.
"Kalian sudah siap?" tanya nenek pada anakdan menantunya tersebut.
"Sudah kok ma. Oh ya, opa dan oma mau dibeliinapa sepulang dari Malang nanti?" ujar dr. Sigit.
"Ah, tidak usah repot, opa sama oma mah cukup dibeliin peyeum saja." seloroh sang kakek tertawa terkekeh.

dr. Sigit dan istrinya terbengong mendengar ucapan sang opayang memang suka bercanda. Sang istri bertanya pada Ferry berada dalam gendongannya. "Kalau beli peyeum di kota apa sayang?" Ferry sejenak berfikir dengan mendekatkan jari kanannya ke pelipis kanan lalu menjawab"Bandung...!!"

"Tuh pah, cucu opah saja tahu!" sebut dr.Sigit. 
"Hehehe... Memang pintar cucu opa yang satu ini"sang kakek semakin gemas dan kembali menggelitiki Ferry yang gelonjotan sambil tertawa geli. "Maksud opa, nanti kalau sudah pulang dari Malang, kalian mampir dulu di Cikampek atau di sekitarnya, di situ juga banyak penjual peyeum" sambil melanjutkan tawanya dan di susul yang lain.

"Memang opamu ini orangnya jahil. Kalian kapan berangkatnya?" ucap sang oma.
"Kita sudah siap kok ma" kata dr.Sigit."Ferry jangan nakal ya di rumah!" kata sang bunda.
"Oh ya,Ferry kalau sudah besar mau jadi apa?" tanya sang ayah pada putranya yangkini berpindah ke pangkuan sang kakek.

"Aku mau jadi Spiderman..!!"

Ferry menjawab dengan lantang. Ayahnya hanya bisa bingung."Kenapa jadi spiderman?" tanya ayah. "Soalnya aku mau memukulorang-orang jahat dan menjadi pahlawan" Ferry menjawab dengan polosnya.

Ayahnya cuma tersenyum sambil berbibisik ke istrinya"Pasti ini ide mama". "Sudah biarin aja pa, namanya juga anak kecil." jawab sang istri.

"Kita berangkat ya oma, opa" dr. Sigit pamit padake dua mertuanya tersebut.
"Hati-hati ya" kata oma.

Mereka akhirnya berangkat ke kota Malang untuk urusan seminar kesehatan meninggalkan anak dan kedua orang tua mereka.

***
Suasana hening di suatu lingkungan TPU terpecah oleh isak tangis sosok pria di depan makam sang istri yang telah wafat 40 hari yang lalu.Sambil menabur bunga ia merasakan kesedihan yang begitu mendalam mengapa istrinya mau menerima sebuah misi seberat ini hingga merenggut nyawanya sendiri.

***
Di tempat lain, dr. Sigit telah selesai mengisi acara seminar. Setelah tiga hari menyelesaikan tugas di kota apel tersebut, mereka bersiap kembali ke Jakarta. Tak lupa mereka membeli oleh-oleh untuk keluarga di rumah.

Perjalanan pulang ternyata diiringi hujan yang cukup deras.Mereka memacu kendaraan dengan lebih hati-hati mengingat jalan menjadi licin disertai berbukit-bukit membuat mereka harus extra waspada dengan jalanan yang naik turun dan berliku.

Mereka kini melintasi sebuah jalan menurun. Tiba-tiba,sebuah truk bermuatan pasir hilang kendali melaju dengan kecepatan tinggi. Truk yang mengalami masalah rem blong tersebut akhirnya menabrak mobil di depan mereka. Mobil yang dikendarai dr. Sigit beserta istrinya tersebut tak mampu menghindar hingga menabrak pembatas jalan. Sialnya, mereka tak menemukan tanah lagi di belakang pembatas jalan. Mobil tersebut akhirnya jatuh kedalam jurang sedalam 20 meter bersama mobil truk yang menabraknya.

Istri dr. Sigit sempat tersadar dan sejenak mengingat buah hati yang ia tinggalkan dengan menggenggam sebuah apel. Ia akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya sambil memeluk sang suami yang juga sudah tak bernyawa.

To Be Continued