Chapter 16
Di markas besar Sky Power, Prof. Indra begitu gusar menanti regu Blue kembali dari tugasnya. Mereka heran, apa yang membuat tim Blue tak kunjung kembali.
"Apa yang terjadi pada mereka? Saya telah memanggil mereka kembali. Tapi tak kunjung hadir" ucap Prof. Indra.
"Sepertinya kita harus menginstruksikan regu pelacak Prof" ujar Stormer menyarankan.
"Kau benar, pasti ada sesuatu yang telah terjadi. Mungkin hal buruk" sahut Prof. Indra.
"Blank. . ." panggil Prof. Indra.
"Ya Prof" jawab Blank.
"Siapkan tim pelacak, temukan keberadaan tim Blue" ujar Prof. Indra menginstruksikan.
Blank memimpin langsung tim pelacak untuk mencari keberadaan tim Blue.
***
Sementara Blue masih bersama dengak kakek misterius.
"Tapi bagaimana cara aku mengalahkan mereka? Sementara aku tak bisa menguasai pedang ini" ujar Ferry masih kesal. Kakek tersenyum dan masih bersikap tenang.
"Ada dua cara untukmu jika kau ingin menguasai pedang Ecliptic" ucapan kakek kembali membuatnya penasaran.
"Cara pertama, kau harus melepas star power" sebutnya.
"Bagaimana caranya?" tanya Ferry.
"Saya tidak tahu" jawab kakek dengan entengnya. Ferry menjadi geregetan.
"Oke, bagaimana dengan cara kedua?" lanjut Ferry.
"Cara kedua, kau harus menguasai hatimu. Pahami hakikat tujuanmu untuk menggunakan pedang ini. Pedang ini akan selalu menolakmu jika kau ingin menggunakannya atas dasar rasa benci dan dendam. Tak mudah meredam kebencian dan dendam yang kau punya pada musuh-musuhmu. Tapi jika kau mau berusaha, selamat mencoba" kakek misterius itu membalikan badan hendak pergi, namun Ferry mencegahnya.
"Tunggu kek, aku mohon!!" cegah Ferry.
"Ada satu hal lagi yang ingin aku tanyakan" ujarnya. Sang kakek mengurungkan niatnya untuk pergi.
"Setiap star power memiliki unique power yang berbeda-beda. Tapi hingga sekarang, aku masih belum tahu apa unique power yang aku punya. Bisakah kakek jelaskan bagaimana cara aku mengetahuinya?" tanya Ferry. Sejenak sang kakek terdiam.
"Sky Warior yang tercipta dari human life memang tak mudah untuk menguasai uniqe power miliknya. Karena hasrat yang mereka punya akan mempersulit munculnya unique power darinya. Namun Sky warior yang tercipta dari tanah liat bisa langsung tahu unique power mereka ketika partama kali mereka diaktifkan. Karena mereka hampir tak punya hasrat" jelas sang kakek.
"Tapi jika sekedar ingin tahu, kau bisa memakai ini" ujar Kakek seraya memberikan sebutir kapsul pada Ferry. Ferry langsung memakannya. Tiba-tiba, angin besar menyelimuti tubuh Ferry. Perlahan, angin itu membentuk kepakan sayap malaikat. Ia terkagum dengan apa yang dialaminya. Ia mencoba mengendalikan kekuatannya. Perlahan, Ferry terbang dan melesat ke angkasa.
"Wow. . . Hebaaat . . . Yuhuuu. . . .! ! !" Ferry terbang sambil menikmati keindahan kota di atas ketinggian. Ia terus terbang berputar-putar.
Namun tiba-tiba, sayap angin yang menerbangkanya memudar dan akhirnya menghilang. Ferry yang masih di atas ketinggian bingung apa yang terjadi. Ia pun terjatuh karena tak mampu menahan bobot tubuhnya.
"Sudah lebih dari 5 menit. Reaksi kapsul itu telah habis" seru sang kakek.
"Kakek sialan. . . Kenapa kau tak bilang dari tadi" ujar Ferry yang kesakitan karena jatuh dari ketinggian.
"Kau yang bodoh, kenapa tak bertanya dulu?" Balas sang kakek tidak mau kalah.
"Bolehkah aku minta kapsulnya lagi kek?" pinta Ferry.
"Tidak boleh!"
"Kenapa?"
"Semakin banyak kau pakai kapsul itu maka unique powermu akan semakin pudar. Pelajarilah dengan berlatih keras" ujar sang kakek lalu pergi.
"Kakek. . . ! !" Ferry mencegahnya dan sang kakek berhenti.
"Terima kasih kek. Aku janji, aku akan menunaikan tanggung jawab yang kakek dan percayakan padaku!" ucap Ferry memberi ucapan terakhirnya. Sang kakek tersenyum dan mengangguk tanda percaya bahwa Ferry pasti bisa.
Sang kakek pergi meninggalkannya. Sementara ia bersiap duduk bersila di depan pedang Ecliptic yang masih menancap di tanah.
***
Pasukan pelacak yang dipimpin langsung oleh Blank ternyata tak mampu menemukan keberadaan Blue. Namun mereka menemukan jejar pertempuran di atas gedung kosong yang merupakan tempat berlangsungnya pertarungan tim Blue dengan pria misterius semalam. Mereka menemukan tujuh siluet tubuh manusia yang tercipta dari tanah liat yang hancur berkeping-keping. Sebagian dari mereka juga mencari informasi tentang keberadaan wali kota. Mereka kembali ke markas dengan membawa sejumlah barang bukti yang mereka temukan.
Sementara di markas, Prof. Indra telah menanti laporan yang telah dikumpulkan pasukannya.
"Kami menemukan 7 jasad tanah liat di atap gedung kosong. Namun kami tak tahu apa saja yang telah terjadi sebelum kejadian" ujar Blank menerangkan sambil memeriksa bongkahan tanah kering yang dibawa pasukannya.
"Maaf prof, kami juga telah mengecek keberadaan wali kota. Dan nampaknya, tidak ada kejadian apapun yang menimpanya semalam" sahut salah satu anggota pelacak.
"Tujuh jasad? Bukankah tim Blue yang beroperasi semalam hanya berjumlah enam personil? Lalu, mungkinkah satu jasad lagi adalah jasad . . ." Iluvera ikut buka suara.
"Tidak. Splitzer memiliki kemampuan membelah tubuh dalam bertarung. Mungkin dua tubuh milik Splitzer dan sisanya adalah tubuh keenam anggota lainnya" sanggah Stormer.
"Kau salah Stormer. Jika Blue terbunuh, jasadnya takkan berubah menjadi tanah. Karena dia tercipta dari jasad hidup" Prof. Indra menyanggah dugaan Stormer.
"Ya, aku baru ingat. Kau benar prof! Lalu, dimana jasad Blue berada?" kata Stormer.
"Apa kau tak menemukan jasad Blue, Blank?" tanya Prof. Indra.
"Maaf, hanya itu yang bisa kami temukan" jawab Blank.
"Apa mungkin, Blue melakukan ini semua?" sahut Wolver.
"Blue tidak mungkin mampu melepas Brain Control" ujar Prof. Indra.
"Lalu siapa pelaku penyerangan ini?" Sahut Wolver.
"Sepertinya, kita mendapatkan ancaman serius. Kita harus waspada" sahut Prof. Indra.
***
Bruaaakkkhh. . . .
Seorang pria terlempar cukup keras menimpa meja hingga hancur. Pria tersebut terlihat kesakitan dan juga ketakutan.
"Ampun tuan, apa salah saya hingga tuan menyerangku?" ucap pria tersebut pada sosok yang menyerangnya yang ternyata adalah Wolver.
"Kau bilang apa salahmu? Apa kau tak ingat nasib gadis SMA yang kau perkosa dan kau bunuh tiga tahun lalu. . . ? ? ?" ujar Wolver membentak. Sang pria mencoba mengingat masa tiga tahun lalu.
"Tapi. . . Apa urusanmu?" tanya sang pria. Wolver perlahan membuka topengnya.
"Apa kau juga lupa wajah ini?" sahut Romy/Wolver menunjukan wajahnya.
"Kau. . . . Kau pria itu?" sang pria kaget mengetahui wajah di balik topeng Wolver.
"Tidak mungkin? Aku mohon ampuni aku. Aku cuma mengikuti perintah" sang pria ketakutan. Wolver mencekik leher sang pria dan mengangkatnya. Sang pria menjadi gelonjotan namun tak bisa melepaskan diri.
"Kau tak usah khawatir. Karena teman-temanmu juga akan segera menyusul" ujar Wolver yang langsung melemparnya dari kamar lantai 9. Sang pria tewas seketika.
***
Romy duduk termenung di sebuah kursi taman. Ingatannya menguak kembali peristiwa mengerikan 3 tahun lalu. Namun tiba-tiba Dian yang duduk di samping mengagetkannya.
"Hei, kenapa sih mas? Melamun aja aku perhatikan?" tanya Dian mengagetkan.
"Oh, nggak apa apa kok!" dengan wajah kaget.
"Kalau ada masalah cerita aja" Dian memberi suport.
"Aku cuma ingat temanku"
"Memang dia dimana sekarang?" ucap Dian dengan penuh perhatian. Romy masih terdiam dengan wajah semakin murung.
"Dia sudah meninggal"
Dian terkaget mendengar penuturan Romy.
"Maaf mas!" ujar Dian ikut sedih.
***
Di tempat persembunyiannya, Ferry mulai mencoba kembali mencabut pedang Ecliptic yang menancap di tanah. Ia berusaha menguasai diri dan mulai mencabutnya. Dengan segenap kekuatan dan keyakinannya, Ferry akhirnya berhasil mencabut dan menguasai pedang Ecliptic dengan baik.
Berapa saat kemudian, sang kakek misterius kembali muncul. Hal itu membuat Ferry terkaget.
"Kakek?"
"Selamat, kau berhasil menguasainya. Pedang itu telah ku pasang alat pengirim sinyal pesan jika kau mampu menguasainya" Kakek menyerahkan pedang milik Ferry.
"Saya hanya berpesan, selain kau harus mengusung nilai keadilan, kau juga harus menetapkan tekat. Semua Sky Warior harus dibunuh. Itu adalah pilihan yang harus kau pahami"
To Be Continued
Tidak ada komentar:
Posting Komentar