Chapter 3
Dian mengucap salam sambil dijawab sosok ibu-ibu
yang keluar menyambut Dian. "Eh Dian sudah pulang?" kata wanita paruh
baya tersebut. "Iya bunda"
"Makan dulu yuk, bunda masak spesial
buat kamu. Tenang saja, barang-barang kamu sudah bunda packing kok!"
kata sang ibu. "Ah bunda, jadi repot gitu" guman Dian. "Sudah gak
apa-apa, cuma sedikit kok" Kata bunda.
"Terima kasih ya bunda, ya sudah Dian ganti baju dulu bunda" ucap Dian. "Ya sudah, bunda tunggu di ruang makan ya."
Bunda
menuju ruang makan, sementara Dian pergi ke kamarnya. Dian menatap
kamar yang telah ditinggalinya sejak kecil. 18 tahun sudah ia lewati di
panti asuhan yang telah membesarkannya tersebut. Mungkin ini adalah saat
terakhir baginya merasakan kamar yang penuh kenangan baginya.
Pandangan
Dian mengarah pada keranjang bayi yang tersimpan di pojok kamar. Benda
inilah yang mengantar Dian pada panti asuhan yang selama ini Dian
tinggali tanpa tahu siapakah kedua orang tua yang tega meninggalkannya.
Diambilnya sepucuk surat yang merupakan satu-satunya barang yang mungkin
akan menjadi penunjuk dimanakah keberadaan kedua orang tuanya kini.
Ingatan Dian tertuju pada masa 11 tahun silam di saat ia berusia 7 tahun.
"Bunda,
Dian boleh tanya sesuatu gak?" tanya Dian kecil yang saat itu baru
kelas 2 SD pada Bunda Dewi, ibu angkatnya. "Ada apa sayang, kok pulang
sekolang mukanya cemberut begitu?"
"Sebenarnya, siapa orang tua
Dian bunda? Apakah mereka masih hidup? Mengapa mereka tidak pernah
menemui Dian?" Bunda Dewi tercegat dengan pertanyaan Dian.
"Kok
Dian nanya seperti itu?" sergah Bunda Dewi. "Habis teman-teman Dian di
sekolah punya orang tua semua, tapi kenapa Dian tidak?"
"Bunda
sudah menyayangi Dian seperti anak bunda sendiri, apa Dian tidak sayang
sama bunda?" Ucap Bunda Dewi mencoba menenangkan Dian sambil membelai
rambut Dian dengan penuh kasih sayang.
"Dian sayang bunda, tapi Dian mau tahu saja Bunda" kata Dian yang masih berwajah murung dalam pelukan Bunda Dewi.
"Sebenarnya
bunda juga tidak tahu sayang. Bunda menemukan kamu sudah tergeletak di
teras rumah ini. Waktu itu hujan besar, bunda menemukan kamu menangis
dalam keranjang bayi. Tapi bunda tidak tahu siapa yang telah menaruh
kamu. Bunda cuma menemukan sepucuk surat ini di samping tubuh kamu.
Surat ini berisi bahwa kedua orang tuamu terpaksa menitipkan kamu ke
sini karena mereka ingin menyelamatkan kamu. Mereka bilang keadaannya
sedang berbahaya. Mereka juga berjanji suatu saat nanti, mereka akan
menjemput kamu jika keadaannya sudah membaik. Mereka juga berjanji akan
membiayai kehidupan kamu sampai perguruan tinggi. Tapi belum bisa
menemuimu sekarang ini."
***
"Dian, sudah ganti baju?"
panggilan bunda Dewi memecah lamunan Dian tentang masa lalunya. "Iya
bunda!" sambil membereskan surat dan keranjang bayinya serta berusaha
mengelap air matanya yang menetes.
"Kok masih belum ganti baju juga, ya sudah cepetan. Nanti makanannya keburu dingin." Bunda kembali ke ruang makan.
18
tahun sudah Dian lewati sisa umurnya. Namun janji kedua orang tuanya
untuk menjemput ataupun sekedar menemuinya belum juga ia rasakan. Dian
mengganti bajunya dan segera menemui sang bunda.
Di ruang makan, bunda beserta anak-anak panti asuhan lainnya telah menunggu.
"Sini
Dian, di samping bunda" seru bunda meminta Dian duduk di sampingnya.
"Ada acara apaan sih bunda, kok rame banget kayaknya?" tanya Dian yang
agak keheranan. "Biasa saja kok, anggap saja ini acara perpisahan sama
kamu" seru sang bunda.
"Kak Dian mau pergi ya?" ucap Rizky, anak 8
tahun di seberang meja makan. "Kalau kak Dian pergi, rumah ini jadi
sepi" sahut Anisah gadis 7 tahun di sampingnya. "Betul, nggak ada yang
bantuin aku ngerjain PR" sambung Irfan, bocah 8 tahun di samping Rizky.
"Hush,
gak boleh begitu. Kak Dian pindah supaya sekolahnya dekat. Makanya
kalian yang rajin sekolahnya, biar pintar kaya Kak Dian" tegur Bunda
Dewi.
"Kalian tidak usah khawatir, Kakak pergi cuma untuk kuliah saja kok, kalau liburan juga kakak pasti ke sini."
Suasana
tempat makan semakin riuh dengan selingan tawa canda mereka. Dian
kembali berangkat ke tempat kostnya dengan membawa barang-barang yang
sudah ia pack sambil pamit pada bunda Dewi beserta penghuni panti asuhan
lainnya.
***
Suasana riuh aktifitas mahasiswa kembali
menghiasi kampus. Dian tengah duduk di sebuah kantin, menunggu temannya.
Dan tiba-tiba temannya datang.
"Hey, sudah lama nunggu?" kata Putri sambil duduk di samping teman yang telah menunggu tersebut.
"Kamu kemana saja Put, lama banget?" sahut Dian yang kesal nunggu lama.
"Maaf, biasa, dosennya ngaret. Ini aja baru keluar" jawab Putri.
"Heh, kamu ngekost kok gak bilang-bilang sih?" seru Putri.
"Emangnya kenapa?"
"Ya kalau kamu punya rencana ngekost, kenapa nggak ngekost bareng aku saja?" ujar Putri.
"Ya
maaf, aku nggak sempat berfikir kesitu. Gampanglah, nanti kalau nggak
betah ntar pindah ke kamu deh." Mereka makan bersama di kantin.
Di tempat lain, Ferry dan teman-temannya sedang berkumpul di sebuah kantin yang berbeda.
"Bagaimana masalah buku kemarin, sudah dibalikin belom?" tanya Haris pada Ferry.
"Sudah donk" jawab Ferry singkat. "Dapat nomer HPnya?" sambung Haris. "Nggak!"
"Huh, lho tuh payah amat sih Fer. Masa kenalan nggak minta nomer sekalian, gimana ketemuannya?" kata Firman.
"Bawel amat sih lho, kalau emang jodoh nanti juga ketemu lagi" sahut Ferry enteng.
"Kayaknya ini anak perlu kita ajari bagainana caranya menjadi pejantan tangguh" seru Lukman disambut riuh tawa teman-temannya.
***
Ferry
pulang ke rumahnya sekitar pukul 10 malam. Ia baru saja pulang dari
kost temannya. Namun sesampainya di sebuah terminal yang sudah agak
sepi, ia dihadang gerombolan pemuda. Ia mempercepat jalannya namun
dicegat oleh para preman tersebut.
"Hei, mau kemana lho, buru-buru amat?" ucap salah satu preman mencegat Ferry yang semuanya berjumlah 5 orang.
"Maaf bang, saya buru-buru nih" kata Ferry.
"Wah, jaket lho bagus juga tuh? Keluarin dompet dan HP lho, cepat!" bentak preman satunya lagi.
"Jangan donk bang, ini bukan punya saya." Tukas Ferry yang mulai ketaktan. Ia terus mencoba menghindar saat digeledah.
"Heh, lho berani sama gue hah?" bentak seorang preman. Preman tersebut lalu melayangkan pukulannya ke wajah Ferry.
"Duuaakkhh...!!"
Ferry terhuyung ke belakang, namun masih bisa menjaga keseimbangan untuk tidak jatuh.
Meski
mencoba melawan, Ferry nampaknya tak mampu menandingi karena kalah
jumlah. Pukulan kedua kembali mengarah ke wajahnya, namun masih bisa
dihindari. Seorang dari belakang berhasil menangkap dan membekap
lehernya. Pukulan kembali mengarah telak ke bagian perutnya. Ferry
kembali meringis kesakitan.
"Berani lho ya? Mau cari mampus lho?" sergap seorang preman sambil kembali mengayunkan pukulannya.
Duuaakhh...
Pelipis kiri menjadi sasaran. Darah mulai mengalir dari pelipis kirinya. Ferry masih mencoba berontak sambil menahan sakitnya.
Tiba-tiba...?
Bruuaakh...!!!
Sebongkah
kayu dengan telak menghantam tengkuk seorang preman yang menjaga Ferry.
Preman tersebut terjatuh meringis kesakitan akibat hantaman keras kayu
barusan. Ferry terlepas dan jatuh tertelungkup. Keempat preman lainnya
kaget mendapat serangan mendadak tersebut.
"Heh, siapa lho?
Beraninya ikut campur urusan gue!" bentak seorang berbadan paling besar
yang nampaknya ketua semua preman tersebut.
"Pengecut lho semua! Berani cuma keroyokan!" ucap pria yang barusan menghantamkan balok kayu tersebut.
"Gue benci sama orang sok jagoan yang suka ikut campur urusan orang kaya lo..!!"
Lalu, keempat preman tersebut menyerang orang yang mengganggunya tersebut.
Serangan
sebuah tongkat kayu seorang preman mengarah ke pria misterius namun
berhasil ditangkis kayu di tangannya. Serangan datang dari sisi lain
namun berhasil dihindari. Serangan balik berkecepatan tinggi tak bisa
dihindari ataupun ditangkis preman hingga berhasil menghantam pelipis
kanannya. Sang preman terhuyung. Serangan kedua mengenai samping kepala
preman hingga satu preman kembali terjatuh.
Tiga preman lainnya kembali menyerang secara bersamaan. Namun sang pria misterius nampaknya sangat ahli dalam bela diri.
Dua
preman selanjutnya berhasil dilumpuhkan. Sementara satu ketua preman
yang tersisa menghunus tongkat yang ternyata sebilah samurai. Ia
menyerang dengan pedangnya secara membabi buta. Namun setiap serangannya
selalu berhasil dihindari.
Serangan terakhir hampir mengenai
sasaran. Namun berhasil ditangkis oleh tongkat yang digenggam sang pria
misterius. Ketajaman, kekuatan serta kecepatan ayunan pedang tersebut
membot patang tongkat yang sang pria misterius tadi gunakan.
To Be Continued
Tidak ada komentar:
Posting Komentar