PEMBAHASAN
Tahukah anda kapan sastra
muncul atau lahir di Indonesia? Jenis sastra seperti apa yang pertama ada di
Indonesia? Dalam pelajaran ini, Anda akan mempelajari sejarah sastra yang ada
di Indonesia. Menurut zamannya, sastra dapat dikelompokan ke dalam beberapa
periodesasi sastra.
Periodesasi sastra adalah pembagian sastra dalam beberapa
periode atau beberapa zaman.
Penggolongan suatu karya
sastra ke dalam suatu periode tertentu, tentu harus didasarkan oleh ciri-ciri
tertentu. Setiap periode/angkatan sastra mempunyai ciri yang berbeda. Ciri khas
sastra setiap periode/angkatan merupakan gambaran dari masyarakatnya sebab
sastra merupakan hasil dari masyarakatnya. Jika masyarakat berubah, sastranya
pun akan berubah. Berdasarkan pendapat itu, terjadilah penggolongan sastra atau
periodisasi atau periodisasi sastra seperti berikut:
1.
Sastra Indonesia Lama
(Sebelum Tahun 1920)
Kesusastraan lama adalah
kesustraan yang lahir sebelum Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Kesustraan lama
lahir sekitar tahun 1500, setelah agama islam masuk ke Indonesia sampai abad
XIX.
Kesusastraan Melayu pada waktu
itu masih bersifat cerita lisan dari mulut kemulut, belum berbentuk tulisan
atau huruf. Orang yang bercerita dan berpantun disebut pawang. Pawang dianggap
sebagai buku kesusastraan. Pawang berjasa menerapkan kesusastraan kepada rakyat
sebab rakyat pada waktu itu, belum dapat membaca dan menulis. Rakyat dapat
mengetahui kesusastraan jika menghadiri pertunjukan yang dilakukan oleh para
pawang di daerah Melayu.
Ciri-ciri kesusastraan lama
adalah bahasanya masih menggunakan bahasa baku yang kaku, ceritanya masih
berkisar tentang dewa-dewa, raksasa atau dongeng yang muluk-muluk, misalnya
menceritakan putri yang cantik jelita serta istana yang indah, atau cerita
tentang pengembaraan seorang putra remaja.
Setelah agama Hindu dan Islam
ke Indonesia, baru kesusastraan ini ditulis dalam bentuk buku. Kesusastraan
lama yang asli dapat dibagi menjadi tiga bagian. Yaitu:
- Cerita
yang hidup dalam Masyarakat, misalnya Lebai
Malang, Pak Belalang, Pak Kadok dan Si Makbul.
- Sejarah
lama yang bersifat nasional, misalnya Hikayat
Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Hikayat Raja-Raja Aceh, dan Silsilah
Bugis.
- Pelipur
lara, misalnya Hikayat Si Miskin,
Hikayat Mashudul Hak, Hikayat Malin Deman, Hikayat Awang Sulung Merah
Muda, dan Cerita Si Umbut.
Sastra lama Indonesia, selain memiliki sastra asli juga memiliki
sastra yang bukan asli. Artinya, sastra yang sudah mendapat pengaruh luar,
misalnya mendapat pengaruh cerita jawa, di antaranya Hikayat Panji Semirang, Hikayat Cekel
Weneng Pati, Jaran Resmi, dan Damar Wulan. Selanjutnya, sastra lama
Indonesia mendapat pengaruh Hindu dan Arab Parsi.
Sastra Indonesia yang
dipengaruhi agama Hindu, misalnya Mahabarata,
Ramayana, dan Panca Tantra. Dalam bahasa Indonesia ketiga buku itu berjudul
Sri Rama , Walmiki, Kekawin, Serat Kanda.
Keling dan Tambak. Pengaruh Arab Persi dalam sastra lama Indonesia terlihat
dalam karya-karya mengenai ketatanegaraan, misalnya, buku Tajussa Latin (Mahkota Raja-Raja), Bustanusssalatin (Taman Raja-Raja), Lukmanul Hakim dan Abunawas.
Selain itu karya lama terlihat dalam roman
sejarah, misalnya Iskandar
Zulkarnaen, Amir Hamzah, dan Muh.Ali
Hanafiah. Selanjutnya karya lama terlihat dalam bentuk didaktik, misalnya Hikayat Bayan Budiman, Hikayat Bakhtiar
(Gulam) dan Cerita 1001 Malam.
Selain sastra berbentuk prosa
juga ada sastra yang berbentuk puisi. Sastra lama dalam bentuk puisi
diantaranya pantun, mantra, bidal , carmina, syair, gurindam, talibun, syair
masnawi, bait, rubai, kithah , gosali dan nazam.
Syair berasal dari bahasa
Arab, gurindam dari bahasa Tamil. Seloka berasal dari bahasa Sansekerta, adapun
mantra, bidal, dan pantun merupakan
sastra lama asli Indonesia. Jenis puisi lainya adalah masnawi, bait, rubai,
khitah, gosali, gajal dan mazam diambil dari bahasa atau sastra Arab Persi.
Pujangga-pujangga yang terkenal pengubah syair adalah Abdullah bin Abdul Kadir
Munsyi, Hamzah Pansuri, dan Raja Ali Haji.
Puisi yang berasal dari Barat
adalah soneta. Soneta berasal
dari bahasa Italia yang terbentuk dari kata lain sono, berarti bunyi atau
suara. Soneta lahir pada pertengahan abad ke- 13 di Kota Florence. Dari Italia, soneta menyebar keseluruh Eropa
terutama ke Eropa Barat, diantaranya Inggris, dan Belanda. Kira-kira abad
ke-20, soneta itu dibawa ke Indonesia oleh pemuda-pemuda yang bersekolah di
Belanda. Adapun pelopor pujangga soneta Indonesia adalah Muhammad Yamin, Y.E.
Takengkeng, Rustam Efendi, Intoyo, dan Sutan Takdir Alisjahbana.
2.
Sastra Indonesia Masa
Kebangkitan (1920-1942)
Perkembangan bahasa dan sastra
Indonesia mulai berkembang sejalan dengan gerak bangsa yang memilikinya.
Pembentukan sastra Indonesia mulai tampak dengan berdirinya gerakan nasional
yang dipimpin oleh Budi Utomo (1908). Dari sini, timbulah sastra baru yang
dipancarkan oleh masyarakat baru pula. Pada masa itu, keadaanya lebih dinamis
dan dikuasai oleh dunia percetakan serta merupakan alam kebebasan individu.
Dalam masa ini, nama pengarangnya lebih menonjol, begitu pula hasil karyanya.
Hasil karyanya lebih banyak sehingga lebih memungkinkan setiap orang dapat
menikmati karya para pengarangnya. Kebangkitan ini (1920-1942) di
kelompokan menjadi beberapa periode.
a. Periode 1920 atau
Masa Balai Pustaka
Pada tahun 1908, pemerintah
Belanda mendirikan lembaga bacaan rakyat yang bernama Vollectuur dengan ketuanya Dr. G.A.J.Hajeu. Lembaga bacaan rakyat
bertugas memilih karangan-karangan yang baik untuk diterbitkan sebagai bahan
bacaan rakyat. Pada tahun 1917, lembaga bacaan itu diubah menjadi Balai Pustaka
dan yang menjadi redakturnya adalah para penulis/pengarang serta para ahli
bahasa Melayu.
Balai pustaka bersedia menerbitkan buku-buku karya
sastrawan Indonesia. Akan tetapi, agar dapat diterbitkan dengan syarat-syarat.
Misalnya, karangan itu tidak boleh mengandung unsur-unsur yang menentang
Pemerintah. Tidak boleh menyinggung perasaan golongan tertentu dalam
masyarakat; dan harus bebas/netral dari agama. Kedudukan Balai Pustaka semakin
besar, walaupun kebebasan para pengarang ”di belakang”. Akan tetapi, dilain
pihak, para pengarang diberi jalan untuk mengarang lebih baik sehingga bakat
mereka terpupu. Masyarakat diberi kebebasan untuk menikmati buku-buku terbitan.
Dalam hal ini akibatnya pengetahuan masyrakat bertambah. Namun, setelah adanya
nota Rinkes, pengarang tidak diberi kebebasan untuk menulis; beberapa buku
disensor; begitu pula karangan asli bangsa Indonesia banyak yang dibubah.
Buku-buku karya sastra yang sempat
terbit pada masa Balai Pustaka, di antaranya:
1) Azab dan Sengsara, Si
Jamin dan Si Johan, dan Binasa Karena Gadis Priangan karya Merari Siregar.
2) Siti Nurbaya, Anak
dan Kemenakan, Pulau Sumbawa, dan Lahami karya Abdul Muis.
3) Salah Asuhan,
Pertemuan Jodoh, Surapati, dan Robert Anak Surapati karya Abdul Muis.
4) Halubalang Raja,
Katak Hendak Menjadi Lembu, Salah Pilih, Cobaan, Karena Mertua, Apa Dayaku
karena Aku Perempuan, Cinta Tanak Air, Neraka Dunia, Pengalaman Masa Kecil, Dan
Korban Karena Percintaan Karya Nur St. Iskandar.
5) Darah Muda dan
Asmarajaya karya Jamaludin/Adinegoro.
6) Dibawah Lindungan
Ka’bah, Karena Fitnah, Merantau ke Deli, Tuan Direktur, Terusir, Keadilan
Illahi, Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk, Lembaga Hidup, Revolusi Agama,
Ayahku, Adat Minangkabau, Negara Islam, Empat Bulan di Amerika, dan
Kenang-kenangan Hidup Menghadapi Revolusi karya HAMKA (Haji Abdul Malik Karim
Amrullah).
7) Kalau Tak Untung dan
Pengaruh Keadaan karya Selasih/Sariamin/Seleguri.
8) Kawan Bergulat,
Percobaan Setia, Pandangan dalam Dunia Anak-Anak, Kasih Tak Terlerai, Mencari
Pencuri Anak Perawan, dan Tebusan Darah Karya Suman Hasibuan.
9) Teman Duduk, Muda
Teruna, Berebut Uang Satu Milyun, Pengalaman di Tanah Irak, dan Kehilafan Hakim
Karya Mohamad Kasim.
10) Si Dul Anak Betawi,
Pertolongan Dukun, Si Cebol Merindukan Bulan, dan Desa/Cita-cita Mustafa Karya
Aman Datuk Majoindo.
11) Sengsara Membawa
Nikmat, Tidak Membalas Guna, dan Memutuskan Pertalian Karya Tulis St.Sati.
Pada awalnya, pengarang Balai
Pustaka didominasi oleh orang Sumatra. Akan Tetapi setelah Sumpah Pemuda tahun
1928, muncul pengarang-pengarang dari daerah . salah satu ikrar sumpah pemuda
adalah menjunjung tinggi bahasa Indonesia. Dengan diresmikannya bahasa Indonesia menjadi
Bahasa Nusantara di Indonesia. Nama-nama mereka adalah sebagai berikut:
1) A.A.Panji Tisna atau
I. Gusti Panji Tisna Dari Bali, karyanya I Swasta Setahun di Bedahulu; Sukreni
Gadis Bali; Ni Rawit Ceti Penjual Orang; Dewi Karuna dan I Made Widiadi.
2) M.R. Dayoh dari
Minahasa Sulawesi Utara, Karyanya Syair Untuk ASIB; Pahlawan Minahasa, Putra
Budiman, Dan Peperangan Orang Minahasa dengan Orang Spanyol.
3) Paulus Supit dari
Minahasa Sulawesi Utara, Karyanya Kasih Ibu.
4) I. Wairata dari Seram
Maluku Karyanya Cinta dan Kewajiban.
5) Haji Oeng Muntu dari
Sulawesi Selatan. Karyanya
Pembalasan dan Karena Kerendahan Budi.
6) Sutomo Johar Arifin
dari Jawa karyanya Andang Teruna.
b. Periode 1933
(Pujangga Baru)
Pada masa ini, Belanda banyak
mengeluarkan peraturan yang terutama pembatasan dalam karangan-karangan yang
ditulis orang Indonesia. Hal ini Belanda merasa takut disebabkan oleh, bangsa
Indonesia bangkit untuk perjuangan kemerdekaan. Selama ini sudah tampak
gejala-gejala adanya rasa nasionalisme yang disebabkan oleh karya sastra yang
berbau politik yang menimbulkan semangat perjuangan. Karya sastra yang berisi
pendidikan telah mampu mencerdaskan masyarakat pribumi.
Dengan semangat yang gigih,
bangsa Indonesia khususnya para pengarang secara diam-diam, mendirikan
organisasi baru yang diberi nama Pujangga Baru. Nama itu diambil dari nama
majalah yang mereka terbitkan pada tanggal 29 Juli 1933. Penerbitan majalah
Pujangga Baru itu dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbuna, Amir Hamzah, Armijin
Pane, dan Sanusi Pane. Hasil karya dan pengarang Angkatan Pujangga Baru adalah
Sebagai Berikut ini:
1) Bentuk Puisi,
diantaranya:
a) Rindu Dendam Karya Y.E. Tatengkeng (1934).
b) Tebaran Mega karya Sutan Takdir Alisjahbana (1936).
c) Nyanyi Sunyi karya Amir Hamzah (1937).
d) Jiwa Berjiwa karya Armijn Pane (1939).
e) Gamelan Jiwa karya Armijn Pane (1940).
f) Buah Rindu Karya Amir Hamzah (1941).
2) Bentuk Prosa,
diantaranya:
a) Tak Putus Dirundung Malang Karya Sutan Takdir Alisjahbana
(1929).
b) Dian yang Tak Kunjung Padam Karya Sutan Takdir
Alisjahbana (1932).
c) Mencari Pencuri Anak Perawan Karya Suman Hasibuan
(1932).
d) Pertemuan Jodoh Karya Abdul Muis (1933)
e) Kalau Tak Untung Karya Selasih (1933).
f) Kehilangan Mestika Karya Hamidah (1935).
g) Bergelimang Dosa Karya A. Damhuri (1935).
h) Layar Terkembang Karya Sutan Takdir Alisjahbana
(1936).
i)
Sukreni Gadis Bali Karya I.Panji
Tisna (1938).
j)
Neraka Dunia Karya Sutan
Iskandar (1937).
k) Lenggang Kencana Karya Arnijn Pane (1937).
l)
Dibawah Lindungan Ka’bah Karya
HAMKA (1938).
m) Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk Karya HAMKA
(1938).
n) Belenggu Karya Armijn Pane (1940).
o) Andang Teruna Karya S.D.Arifin (1941).
p) Anak Perawan di Sarang Penyamun Karya Sutan Takdir
Alisjahbana (1941).
c. Periode 1942 (Zaman
Jepang)
Karya sastra pada masa ini
dapat dibedakan atas dua kelompok. Kelompok pertama adalah karya sastra dan
pengarangnya yang resmi berada dibawah naungan Pusat Kebudayaan Jepang. Mereka
menulis sesuai dengan batas-batas yang ditentukan oleh Pusat Kebudayaan Jepang.
Kelompok kedua adalah kelompok yang tidak mau berkompromi dengan Pusat
Kebudayaan Jepang. Akan tetapi, mereka mencari jalan baru untuk mengatakan
sesuatu. Cara yang mereka lakukan diupayakan tidak berbahaya, tetapi cita-cita
terlaksana melalui cara ini, banyak karya sastra yang bersifat simbolik. Pengarang-pengarang dan karya-karyanya yang
timbul pada masa Jepang ini adalah:
1) Usmar Ismail karyanya
Kita Berjuang , Diserang Rasa Merdeka,
Api, Citra dan Liburan Seniman.
2) Rosihan Anwar
karyanya berupa puisi yang berjudul
Lukisan Kepada Prajurit.
3) Maria Amin Karyanya Tinjaulah Dunia Sana, Dengarlah Keluhan
Pohon Mangga, dan Penuh Rahasia.
3.
Sastra Indonesia Masa
Perkembangan (1945-Sekarang)
Pada masa ini, Indonesia sudah
merdeka sehingga tidak bergantung lagi kepada bangsa lain. Situasi ini tentunya
berpengaruh terhadap perkembangan karya sastra pada masa itu.
a. Periode 1945
Pengarang yang ikut
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia merdeka pada waktu itu adalah Chairil
Anwar, Idrus, Asrul Sani, Umar Ismail dan lain-lain. Rosihan Anwar memberikan
nama kepada mereka sebagai pengarang angkatan ’45. Penamaan ini dimuat dalam
majalah siasat. Sastrawan yang menjadi pelopor dalam bidang puisi pada periode
ini ialah Chairil Anwar. Adapun pelopor dalam bidang prosa adalah Idrus.
Karya sastra angkatan ’45
mempunyai ciri-ciri tertentu, misalnya bentuknya agak bebas dan isinya
menampilkan suatu realita. Pujangga yang menjadi penghubung dalam masa ini
adalah Armijn Pane El Hakim.
Karya-karya Angkatan ’45
dipengaruhi pujangga-pujangga Belanda dan Dunia, misalnya Rusia, Italia,
Prancis, dan Amerika. Karya sastra dan pengarang Angkatan ’45 diantaranya:
1) Chairil Anwar
Karyanya Kerikil Tajam, dan Deru Campur Debu.
2)
Idrus Karyanya Surabaya
dan Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma.
3)
Asrul Sani Karyanya Tiga Menguak Takdir, bentuk cerpennya: Panen, Bola Lampu, Museum,
Perumahan Bagi Fadrija Navari, Si Penyair Belum Pulang, Sahabat Saya Cordiza,
Beri Aku Rumah, Surat Dari Ibu, Elang Laut, dan Orang dalam Perahu.
4) Usman Ismail Karyanya
Permintaan Terakhir (Cerpen), Asoka Mala Dewi (cerpen), Puntung
Berasap (kumpulan sajak), Sedih Dan
Gembira (kumpulan drama), Mutiara dari Nusa (sandiwara radio), dan
Ayahku Pulang (sandiwara saduran).
b. Periode 1950
Periode ini merupakan
kelanjutan dari angkatan ’45 dengan ciri-ciri sebagai berikut ini:
1) Pusat kegiatan sastra
telah meluas ke seluruh pelosok Indonesia tidak hanya terpusat di Jakarta atau
Yogyakarta.
2) Kebudayaan daerah
lebih banyak diungkapkan demi mencapai perwujudan sastra nasional Indonesia.
3) Nilai keindahan dalam
sastra tidak lagi didasarkan pada kekuasaan asing, tetapi kepada peleburan
antara ilmu dan pengetahuan asing berdasarkan perasaan dan ukuran nasional.
Pengarang yang dimasukkan ke dalam periode ini
adalah:
1) Toko Sudarto Bachtiar
karyanya Suara (kumpulan sajak)
(1950-1955) dan Etsa (1958).
2) Ajip Rosidi karyanya Tahun-Tahun Kematian (1955), Di Tengah Keluarga (1956), Sebelum Rumah Buat Hari Tua (1957), Perjalanan Penganten (1958), Pesta
(kumpulan sajak) (1956), Ketemu di Jalan
(1956), Cari Muatan (1959), dan Tinjauan Tentang (Cerita Pendek
Indonesia) (1959).
3) Trisnoyuwono karyanya
Laki-Laki dan Mesiu (1959) serta Angin
Laut (1958).
c. Periode 1966
Ada dua peristiwa yang penting
di Indonesia, yakni peristiwa 1945 dan peristiwa 1966. peristiwa 1945 merupakan
momentumnya kemerdekaan. Hal sebagaimana dilontarkan penyair Chairil Anwar yang
berontak terhadap penjajahan Jepang pada 1943, Ia melahirkan puisi yang berisi
semangat aku ini binatang jalang, dari
kumpulannya terbang. Adapun peristiwa 1966 mementumnya menegakkan keadilan.
Beberapa pengarang angkatan
’66 dan karyanya adalah sebagai berikut:
1) Mohamad Ali karyanya 58 Tragedi, Siksa dan Bayangan, Persetujuan
dengan Iblis, Kubur Tak Bertanda, serta Hitam atas Putih.
2) Toto Sudarto Bahtiar
karyanya Suara dan Etsa.
3) Alexander Leo
karyanya Orang Yang Kembali.
4) Nh. Dini karyanya Dua Dunia, Hati Yang Damai, dan Pada Sebuah
Kapal.
4.
Karya Yang Mendapatkan
Penghargaan
Dalam sejarah perkembangan
sastra Indonesia, ada sejumlah karya sastra pernah mendapatkan penghargaan.
Beberapa penghargaan sastra diantaranya Sastra Nasional BMKN, Hadiah Sastra
Yamin, dan Hadiah Tahunan Pemerintah..
BMKN adalah singkatan dari
Badan Masyarakat Kebudayaan Nasional. Lembaga ini pernah memberkan hadiah
kepada sastrawan Indonesia yang menghasilkan karya sastra bermutu. Beberapa
karya dan pengarang yang pernah mendapat hadiah sastra Nasional BMKN antara
lain: Jalan Tak Ada Ujung (Novel, Mochtar Lubis, 1953), Laki-laki dan mesiu (cerpen ,Trisnowuyono, 1960), Tjeritan dari Blora (cerpen, Pramoedya
Ananta Toer, 1953), Perempuan (kumpulan cerpen, Mochtar Lubis 1956), Pulang (Novel, Toha Mochtar, 1960), Tandus (kumpulan puisi, S. Rukiah,
1953), Priangan Si Jelita (Puisi,
Ramadhan K.H. 1960), Titik-Titik Hitam
(drama, Nasyah Djamin, 1960), Saat Yang
Genting (drama , Utuy Tatang Sonatani, 1960), Merah Semua Merah (Drama, Mh. Rustadi Kartakusumah, 1960),
Pada 1964 Yayasan Yamin
memberikan penghargaan kepada orang Indonesia yang berhasil pada 1963 dalam
bidang sastra. Sastrawan yang pernah mendapatkan penghargaan Hadiah Sastra
Yamin yaitu: Pagar Kawat Berduri (Trisnoyuwono), Daerah Tak Bertuan (Toha Mochtar), Orang-Orang Baru dari Banten
Selatan (Pramoedya Ananta Toer), dan Mereka
Akan Bangkit (Bur Rasuanto, tetapi ia menolak hadiah tersebut).
Sejak tahun 1969, pemerintah Republik Indonesia juga
memberikan penghargaan kepada seniman dan ilmuan yang dianggap berjasa. Di
bidang sastra, karya sastra yang pernah mendapat penghargaan, antara lain: Siti Nurbaya (roman, Marah Rusli, 1922),
Salah Asuhan (roman, Abdul Muis,
1928), Belenggu (novel, Armijn Pane,
1940), Atheis (Novel, Achdiat K.
Miharja, 1949), Harimau! Harimau! (Novel,
Mochtar Lubis), Madah Kelana (puisi,
Sanusi Pane ,1931), Nyanyi Sunyi
(Puisi, Chairil Anwar, 1949), dan Deru
Campur Debu (puisi, Chairil Anwar, 1949).
KESIMPULAN
Periodesasi sastra terbagi atas
beberapa periode antara lain:
1. Periode Sastra
Indonesia Lama (Sebelum Tahun 1920)
Ciri-ciri kesusastraan lama
adalah bahasanya masih menggunakan bahasa baku yang kaku, ceritanya masih
berkisar tentang dewa-dewa, raksasa, atau dongeng yang muluk-muluk.
2. Periode Sastra
Kebangkitan (1920-1942)
a) Periode 1920 atau
masa Balai Pustaka
b) Periode 1933
(Pujangga Baru)
c) Periode 1942 (Zaman
Jepang).
3. Sastra Indonesia masa
perkembangan (1945-sekarang).
a) Periode 1945
Karya sastra angkatan ’45
ciri-cirinya bentuknya agak bebas dan isinya menampilkan suatu realita.
b) Periode 1950
Ciri-cirinya:
·
Pusat kegiatan sastra telah meluas.
·
Kebudayaan daerah lebih banyak diungkapkan demi
mencapai perwujudan sastra nasional Indonesia.
·
Nilai keindahan dalam sastra berdasarkan perasaan
dan ukuran nasional.
c) Periode 1966
4. Karya yang
mendapatkan penghargaan
DAFTAR PUSTAKA
Alwi,
Hasan (dkk). 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Arifin, E.
Zaenal dan Farid Hadi, 1993. 1001 Kesalahan Berbahasa , Jakarta: Akademika Pressindo.
Ismail,
Taufiq (ed). Dkk. 2002. Horison
Sastra Indonesia I, Kitab Puisi, Jakarta: Horison dan The
Ford Foundation.
Keraf, Gorys. 1995. Eksposisi. Jakarta: Gramedia.
Taringan,
Djago, 1987. Membina Keterampilan Menulis
Paragraf dan Pengembangannya. Bandung: Angkasa.
Zakaria,
Sofyan. 1997. Wisata Bahasa, Bandung:
Humaniora Utama Press.