Chapter 8
Ferry dan Dian tengah asik menyantap makanan yang mereka pesan. Hari minggu yang begitu spesial bagi Ferry. Betapa senangnya ia menghabiskan hari liburnya bersama seorang gadis cantik yang dikaguminya. Apalagi acara makan siang dan ngobrol bersama yang tengah dilewatinya. Ia tak mau melewatkan momen baik ini begitu saja berlalu. Ingin rasanya ia utarakan isi hatinya saat ini pada gadis yang ada di sampingnya kini. Namun keberaniannya tak kunjung hadir. Ia lalu mencoba mengumpulkan keberanian untuk melancarkan aksinya.
Tiba-tiba ponsel Dian berbunyi. Ia menjawab telfon yang berasal dari seseorang.
"Halo.."
(kamu dimana? Aku sekarang depan kostmu *telfon)
"Aku lagi makan, nanti kalau selesai aku ke situ" jawab Dian.
(Jangan lama-lama *telfon)
"Oke..."
Telfon ditutup, Dian meneruskan makannya.
"Dari siapa?" kata Ferry.
"Nanti aku kasih tahu" jawab Dian singkat.
"Dian, aku mau bicara satu hal sama kamu." Ferry memberanikan diri untuk membuka pembicaraan.
"Sesuatu yang serius atau yang ringan?" tanya Dian sambil tetap meneruskan makannya.
"Ya serius lah" jawab Ferry. Dian sejenak berfikir sambil menghentikan makannya.
"Maaf Fer, kalau yang sifatnya serius apalagi yang panjang lebar, sebaiknya jangan sekarang" Dian menangkap aura kegugupan dalam diri Ferry, jangan-jangan ia akan mengungkapkan tentang perasaanya. Dian jadi ikut gugup.
"Kenapa?" Ferry menanyakan.
"Kamu tahu kan, tadi ada seseorang yang menelfonku, dia sekarang lagi nunggu aku" Dian nampaknya bisa menyampaikan alasan yang tepat. Walaupun ia juga bingung apa yang harus ia lakukan selanjutnya.
"Ya sudah nggak apa-apa kalau memang nggak bisa" Ferry agak kecewa, namun ia pasrah.
"Jangan marah donk!" bujuk Dian.
"Nggak kok, santai aja" ujar Ferry. Mereka lalu meneruskan acara makan mereka.
Setelah selesai makan dan membayarnya, mereka pulang berjalan kaki, sambil ngobrol di sepanjang jalan. Dan tiba-tiba, Ferry merasakan ada sesuatu yang tertinggal di rumah makan. Ia lalu menghentikan langkah sambil memeriksa setiap kantong sakunya.
"Wah, kunci motorku mana ya?" Ferry bingung sambil mencarg di saku dan tasnya.
"Kenapa Fer?"
"Nggak tahu, kunci motor kemana ya?"
"Jangan-jangan ketinggal di tempat kita makan kali ya!" kata Dian menebak-nebak.
"Mungkin. Ya sudah saya periksa kesana dulu ya" ujar Ferry.
"Ya sudah aku tunggu di sini." jawab Dian. Ferry bergegas kembali ke tempat makan untuk mengambil kunci sepeda motornya. Sementara Dian menunggunya di sebuah persimpangan.
Di tempat lain, Putri telah menyelesaikan pekerjaannya, bersiap menyusul Dian dan Ferry ke rumah makan.
Dian yang menunggu sendirian di tempat yang agak sepi tengah berada dalam pengintaian 3 orang preman yang ada di sekitar tempatnya berada. Dan ketiga preman itu lalu mendekat ke arah Dian. Mereka lalu menggoda Dian.
"Hei cantik, sendirian aja nih? Gabung ama kita-kita yuk!" ujar seorang preman menggoda. Kedua mata mereka seakan menelusuri setiap lekuk tubuh mangsa yang ada di depannya.
"Ah tidak, makasih" jawab Dian risih.
"Kita sikat aja" ujar seorang preman berbisak pada kedua rekannya. Mereka langsung melancarkan aksi. Dua orang preman menyered kedua tangan Dian secara tiba-tiba. Dian berusaha untuk teriak. Belum sempat ia lepaskan suara, tangan seorang preman satunya membekap dari belakang. Dian terus berusaha berontak, namun tenaganya jelas kalah jauh dibanding 3 preman yang menyered paksa dirinya. Dian benar-benar merasakan panik terhadap apa yang akan dialaminya. Ia berharap ada seseorang muncul menolongnya di tempat yang sepi ini.
Beruntungnya Ferry telah kembali. Ferry kaget akan apa yang tengah Dian alami.
"Hey . . . Lepaskan dia. . . ! !" Ferry berteriak dan langsung mengejar 3 preman yang menyered Dian.
Sebuah pukulan dilepas Ferry mengenai wajah salah satu preman yang menarik tangan Dian hingga terhuyung. Preman satunya yang memegang tangan Dian sebelah kanan menyerang balik, namun berhasil dihindari. Serangan kedua dengan pukulan ke arah wajah dapat Ferry tangkis. Ferry melepas tendangan tepat mengenai perut si preman. Si preman tertunduk kesakitan pada perutnya kembali menerima hantaman bogem mentah Ferry pada wajahnya hingga terjatuh.
1 preman yang tengah menjaga Dian ikut menyerang. Ia mendorong Dian hingga terjatuh karena kesalnya.
Preman terakhir bertarung dengan Ferry.
Ferry berhasil melayangkan pukulan mengenai pelipis preman terakir hingga terdesak. Namun 2 preman lain menyerang secara bersamaan. Ferry mencoba menangkis maupun menghindari setiap serangan mereka. Namun jumlah yang tak imbang membuat Ferry kewalahan. Ia mendapat sebuah pukulan di dadanya. Tendangan pada punggung oleh preman lain membuatnya terjatuh. Dian yang tak tega melihat keadaan Ferry berteriak meminta bantuan.
"Hentikan, aku mohon hentikan. . . ! ! ! Tolooonngg . . . ! ! !" Dian berteriak berharap ada warga membantu.
Tiba-tiba seorang pemuda datang dan membantu Ferry.
"Hey kalian . . . ! !" pemuda tersebut berteriak dan menyerang serta menghajar ketiga preman itu. Ketiga preman lari karena melihat warga mulai berdatangan.
Pemuda yang membantu tersebut ternyata Romy. Ia menghampiri Dian yang menangis terduduk. Ferry juga mencari sosok Dian yang ia tinggalkan barusan.
"Kamu tidak apa-apa sayang?" Romy membantu Dian berdiri. Dian hanya menggukkan kepala.
"Nggak apa-apa kok mas!" jawab Dian.
"Maaf ya sayang, mungkin aku terlambat kesini" ujar Romy menyesal.
Ferry yang mengetahui kejadian antara Dian dan Romy menjadi sangat marah terbakar cemburu yang mendalam. Namun ia mencoba menahan.
"Ferry, kamu nggak apa-apa!" tanya Dian khawatir dan kasihan setelah kejadian barusan.
"Nggak apa-apa" jawab Ferry dengan wajah yang telah dipenuhi aura kebencian.
Putri yang awalnya hendak menyusul Dian dan Ferry kini muncul di balik kumpulan warga. Ia menyaksikan kejadian ketiga insan yang telah ia kenal tersebut. Ferry langsung pergi meninggalkan tempat kejadian membawa amarah yang tertahan disusul warga yang mulai membubarkan diri.
"Ferry tunggu.." Dian mencoba mencegah Ferry namun Romy menahan Dian untuk tidak menyusul. Dian kembali menangis merasa serba salah pada sahabat yang selama ini peduli dan selalu membantunya. Putri yang awalnya hanya terdiam langsung mengejar Ferry.
Dian merasa sangat sedih telah menyakiti seseorang yang begitu baik padanya. Romy membawa Dian Pulang. Dian sejenak memandang seonggok bungkusan nasi yang telah jatuh tercecer akibat dorongan preman barusan. Nasi yang awalnya ingin ia berikan pada Putri.
Ferry pergi menuju kost Putri, tempat ia memarkir kendaraannya. Putri terus mengejar di belakangnya.
"Kak Ferry tunggu...!!" Ferry telah sampai di tempat sepeda motornya diparkir.
Bruaakhh.....
"Bangsaaattt..." Ferry meluapkan kemarahan dengan memukul helmnya sendiri yang ada di atas sepeda motor hingga terjatuh dan pecah kacanya.
Putri yang kaget dan agak panik berusaha menenangkan Ferry. "Kakak tenang kak" ucap Putri menenangkan.
"Diiiaaaammm...!!!" bentak Ferry penuh amarah membuat Putri ketakutan. Namun ia tetap berusaha menguasai diri.
Putri melihat mata Ferry yang memerah karena amarah mengalirkan sebulir air mata. Namun Ferry langsung berusaha menghapusnya.
Ferry duduk di kursi panjang yang ada di tempat itu dengan diliputi kalut yang luar biasa melanda hatinya. Hatinya begitu hancur mengetahui gadis yang begitu ia cintai telah melukai hatinya. Putri ikut duduk di sampingnya.
"Maafkan aku Put. Aku nggak bermaksud marah padamu" ujar Ferry yang masih tertunduk dengan kedua tangan memegang dahinya.
"Nggak apa-apa kak! Putri mengerti perasaan kak Ferry" jawab Putri. Ia merasa sangat kasihan pada pria yang sesungguhnya ia kagumi itu.
"Aku ingin kau jawab pertanyaanku jujur Put" kata Ferry pada Putri di sampingnya. Putri hanya mengangguk.
"Kamu pasti tahu banyak tentang hubungan mereka. Sejak kapan mereka jadian?" tanya Ferry.
"Sebenarnya aku kurang tahu sejak kapan meraka jadian. Tapi mungkin sekitar 2 bulan yang lalu" ujar Putri menjelaskan.
"Apakah kak Ferry marah pada Dian karena dia jadian sama Romy?" lanjutnya. Ferry sejenak terdiam untuk menenangkan diri.
"Aku marah bukan karena itu" jawab Ferry.
"Kenapa?"
"Aku bingung aja, mengapa Dian tidak pernah cerita tentang ini. Mengapa ia merahasiakan ini semua dariku?" ujar Ferry.
"Jika dia sudah memiliki Romy, mengapa dia begitu sering meminta bantuanku?" lanjutnya.
"Kenapa kakak jadi tidak ikhlas begitu?" ujar Putri.
"Bukan aku tidak ikhlas Put. Bagaimanapun juga, Romy lah yang lebih pantas untuk selalu membantunya. Coba kamu bayangkan jika ini membuat salah paham antara aku dan Romy, apa dia mau melihat kita saling bunuh?" jelas Ferry.
"Aku mengerti perasaanmu kak. Tapi jika kakak benar-benar mencintai Dian, mengapa kakak tidak tetap berusaha untuk mendapatkannya? Lagipula, mereka baru pacaran" ucap Putri, ucapan yang sebenarnya bertentangan dengan hati kecilnya yang masih mencintai pria di sisinya tersebut. Namun ia berusaha bersikap bijak walau itu menyakitkan hatinya.
"Bagaimana jika kekasih yang sangat kamu sayangi, direbut oleh orang lain. Apakah kau tidak akan merasakan sedih?" ujar Ferry sambil menatap tajam gadis yang ada di sampingnya itu. Putri hanya menjawab dengan menggelengkan kepala. Ferry lebih memilih tersakiti daripada menyakiti. Meski sebagai manusia biasa, ia kadang tak bisa menerimanya. Sifat seperti itulah yang Putri kagumi sejak ia mengenal Ferry. Tak segan berkorban demi siapapun, meski kadang terlalu berlebihan hingga tak jarang malah menyengsarakan dirinya sendiri.
"Kalau memang itu pilihan kakak, kakak harus mulai berusaha untuk melupakan Dian di hati kakak, dan..."
"Tapi nggak semudah itu Put!" tutur Ferry memotong ucapan Putri.
"Jika kakak berusaha, apakah itu akan tetap menjadi hal yang mustahil?" Putri terus berusaha memberi suport pada Ferry. Putri bangkit dan mengambil helm yang terjatuh tadi. "Kakak harus yakin, jika Dian adalah jodoh kakak, ia pasti akan datang pada kakak. Tapi jika Dian bukan jodoh kakak, percayalah Tuhan akan mengirimkan gadis yang lebih baik darinya" ujar Putri sambil membersihkan debu yang menempel pada helm tersebut. Ferry ikut bangkit mendekati Putri yang berada di dekat sepeda motornya.
"Makasih ya put, kamu mau menemani aku di saat aku seperti ini" kata Ferry yang telah berada di hadapan Putri. Putri meletakkan helm yang barusan ia ambil pada spion sepeda motor Ferry. Putri merasa tenang atas keadaan Ferry yang telah membaik. Ferry memegang kedua lengan Putri.
"Aku sangat beruntung memiliki sahabat yang begitu baik seperti kamu" kata Ferry dengan menatap dalam wajah gadis di hadapannya tersebut.
Putri senang dengan pujian yang Ferry berikan. Meski ingin hati kecilnya protes, salahkah jika ia menginginkan lebih dari sekedar sahabat? Namun tak kuasa ia ungkapkan pada pria yang tengah menatap tajam wajahnya hingga membuatnya menahan malu.
Tiba-tiba Ferry menarik kedua lengan Putri mendekatinya hingga tiada lagi jarak tersisa diantara tubuh mereka. Ferry melingkarkan tangannya kebelakang punggung Putri. Putri sangat kaget mendapatkan perlakuan seperti itu. Ia seperti terhipnotis hingga tak kuasa menolak. Rasa takut dan malu membuatnya ingin berontak. Namun sensasi kehangatan dan kenikmatan yang penuh ketegangan membuat ia pasrah. Ia tak mau melewati kesempatan indah mendebarkan di dalam dekapan lembut pria yang dikaguminya berlalu begitu saja.
Hampir saja ia tak mampu mengendalikan kesadaran akibat sensasi gila yang menari dan mengaduk-aduk jiwanya itu.
Ferry melepaskan pelukannya lalu menuju sepeda motornya, bersiap untuk pulang.
"Sekali lagi, makasih atas suportnya Put" Ferry mulai menampakan senyumnya dan Putri hanya bisa mengangukkan kepala. Ferry pamit pulang. Sementara Putri masih tak kuasa melupakan kejadian paling menegangkan dalam hidupnya barusan sambil senyum sendiri.
To be Continued
Tidak ada komentar:
Posting Komentar