Powered By Blogger

Kamis, 08 Mei 2014

Sky Power

Chapter 9

Suasana kampus yang penuh dengan hilir mudik segenap civitas di dalamnya. Ferry berjalan di sebuah lorong sepi yang tiba-tiba terhenti oleh sebuah suara.
"Ferry tunggu!" Suara yang memanggilnya dari belakang ternyata milik Dian yang kini mendekatinya.
"Aku mau bicara sama kamu" ujar Dian.
"Maaf, tapi aku tidak ada waktu.." jawab Ferry.
"Ku mohon Fer!"  Dian mengiba membuat Ferry seperti pasrah. Dian menarik Ferry ke tempat yang agak sepi.
"Ferry, aku tahu kamu marah sama aku kan?" ucap Dian dengan nada penuh rasa bersalah.
"Apa alasanku marah padamu?" tanya Ferry.
"Kamu tidak usah menutupi ini semua. Putri menjelaskan semuanya padaku" kata Dian yang semakin menampakan kesedihannya. Ferry merasa tidak tega juga melihat wajah Dian yang begitu kasihan. Namun ia hanya terdiam.
"Maafkan aku Fer!" Dian menatap wajah Ferry sendu. Air matanya mulai mengalir membelah pipinya.
"Aku tahu, aku telah bersalah padamu" lanjutnya.
"Aku tahu, tidak seharusnya aku merahasiakan ini semua dari kamu, kini semuanya...." tutur Dian diiringi isak tangisnya.
"Sudahlah, aku tidak apa-apa kok" Ferry mencoba menanggapi kejadian memilukan kemarin seolah biasa saja di depan Dian.
"Kamu begitu baik padaku selama ini. Tapi aku hanya bisa membuatmu kecewa" ujar Dian.
"Terus apa yang harus kamu lakukan?" kata Ferry, Dian hanya terdiam.
"Aku menghargai keputusanmu. Meski kadang tak semudah itu aku menerimanya" sambungnya.
"Aku ingin kamu percaya padaku" ujar Dian.
"Sebenarnya . . . . Aku juga menyayangimu Fer!" Dian mengutarakan isi hatinya sambil menangis. Ferry begitu tertegun mendengar penuturan dari Dian. Meski tetap tak bisa menghapus luka hatinya.
"Maafkan aku Fer. Aku hanya bisa menyayangimu, namun tak bisa memilih apa yang kau inginkan" Dian mendekatkan telapak tangannya ke wajah Ferry.
Pandangan mereka begitu lama menyatu. Dian mulai mendekatkan wajahnya ke wajah Ferry. Ferry menyadari apa yang akan terjadi di detik-detik selanjutnya. Batinnya berusaha menolak, namun tubuhnya seakan pasrah pada apa yang akan terjadi. Bibir mereka kini telah menyatu. Ferry seakan terbius dalam sebuah gejolak yang tak ia mengerti. Bahkan ia juga tak menyadari bahwa Dian kini telah pergi.
Ia terkaget setelah tahu Dian telah pergi. Ferry berbalik untuk meneruskan langkahnya yang sempat terhenti. Namun ia kembali dikagetkan dengan munculnya sosok lain di hadapannya. Romy tengah menatap tajam ke arahnya. Tatapan dengan penuh kebencian. Ferry khawatir mungkinkah Romy tahu kejadian antara dirinya dengan Dian barusan.
Tiba-tiba Romy langsung  menyergap Ferry. Ia menarik kedua kerak baju Ferry dan membantingnya ke tembok.
"Brengsek lo ya! Lo harus jelaskan ini semua!" bentak Romy sambil tetap menenteng kerak baju Ferry dan mendesaknya ke tembok.
"Maaf Rom, gue nggak punya waktu untuk itu" jawab Ferry.
"Gue nggak peduli...!! Lo jawab pertanyaan gue. Apa bener lo mencintai Dian?" tanya Romy.
"Rom, ini semua cuma salah..."
"Diaaamm...!!" Ucapan Ferry terpotong.
"Lo tinggal jawab pertanyaan gue jujur!" amarah Romy nampaknya semakin menjadi. Ferry sejenak terdiam dan berusaha menguasai diri.
"Oke, gue jawab" ujar Ferry.
"Gue memang sayang sama Dian. Tapi gue sadar posisi gue. Gue juga tahu dan menghormati hubungan lo dengannya" sambung Ferry.
"Pengecut . . . " tukas Romy.
"Gue sudah jelasin sama lo, lepasin gue!" Ferry coba berontak namun Romy semakin menekan.
"Kalau lo memang suka sama Dian, kenapa lo nggak berusaha rebut Dian dari gue. Atau lo cuma berani main belakang? Pengecut...!" kata Romy.
"Gue sudah bilang sama lo, gue cuma ingin menghormati pilihan Dian." jawab Ferry.
"Gue nggak butuh belas kasihan dari lo. Jika lo merasa cowok, rebut Dian dari gue secara gentle!" kata Romy. Ferry cukup kagum dengan sikap jantan yang Romy tunjukan padanya. Tiba-tiba, teman-teman Ferry melihat kejadian itu.
"Hoi. . . Apa-apaan lo?" kata Adi pada Romy yang masih mencengkram Ferry. Mereka langsung berlari menghampiri.
"Hentikan teman-teman!" Ferry mencegah Adi Haris Firman. Mereka heran.
"Gue nggak suka lo diperlakukan seperti itu" jawab Adi.
"OK, kalian tenang dulu. Ini urusan pribadi gue sama dia" ujar Ferry menjelaskan. Romy melepaskan cengkramannya pada Ferry.
"Dengar ya, tunjukin keberanian lo kalau lo memang benar-benar cowok!" Romy memperingatkan Ferry untuk terakhir kali sebelum akhirnya pergi meninggalkan mereka.
"Lo nggak apa-apa Fer?" tanya Haris.
"Lo nggak usah ragu minta bantuan kita kalau butuh bantuan" ujar Adi.
"Makasih ya, gue nggak apa-apa kok" jawab Ferry.
"Gue males sebenarnya buat bantu, karena pasti gara-gara cewek. Tapi sayang juga ngelewatin momen seru kayak begini, hehe" kata Firman yang masih sempat-sempatnya berkelakar seperti itu. Mereka lalu pergi bersama.
Ferry berhenti di depan sebuah ruangan.
"Sob, gue ada perlu nih, kalian duluan aja ya" ujar Ferry pada para sahabatnya.
"Lo mau ngapain?" tanya Haris.
"Ada perlu sama dosen" jawab Ferry.
"Ya sudah kalau begitu" lanjut Haris. Mereka pergi meninggalkan Ferry. Sementara Ferry memasuki sebuah ruangan untuk bertemu seseorang. Prof. Indra, orang yang hendak ia temui ada di dalam ruangan itu.
"Hey Ferry, apa kabar?" sambut Prof. Indra dengan ramah.
"Baik pak" jawab Ferry.
"Sayang sekali bapak tidak punya waktu yang memungkinkan untuk berbincang sama kamu. Oke, bapak cuma nitip ini sama kamu" Prof. Indra memberikan sebuah kartu nama.
"Temui bapak jam 4 sore nanti di alamat ini. Ada tawaran menarik yang ingin bapak bahas denganmu, jangan lupa ya!" Prof. Indra lalu pergi meninggalkan ruangan yang cukup luas tersebut sambil menenteng sebuah koper. Hanya meninggalkan wanita cantik dalam ruangan tersebut yang usianya Ferry taksir sekitar 27 tahunan. Wanita yang merupakan asisten dosen tersebut memberikan senyumnya pada Ferry. 
Cukup terpesona juga Ferry pada senyuman wanita yang usianya 8 tahun lebih tua darinya tersebut.

***
"Plaaakk. . . ."
Sebuah tamparan menerjang pipi Dian. Air mata kembali menggenangi wajahnya yang masih terlihat sendu. Ia hanya terdiam tak tahu harus bagaimana menghadapi semuanya.
"Aku nggak menyangka bagaimana kamu bisa berani berbuat seperti ini padaku" ujar Romy dengan nada emosi pada kekasihnya itu.
"Jika kamu memang sudah tak mencintai aku lagi, mengapa kamu tak terus terang?" lanjutnya. "Apa pernah aku memaksamu menerima cintaku?"
"Maafkan aku mas, aku nggak bermaksud mengkhianatimu. Aku tahu aku salah. Aku minta maaf mas!" ujar Dian sambil menangis.
"Aku janji, aku tak akan mengulanginya lagi!" lanjutnya. Romy terdiam. Tak tega juga ia melihat kekasihnya menangis sedih dengan penuh penyesalan.
"Baiklah, aku maafkan kesalahan kamu, karena ini adalah kesalahan pertama yang kamu perbuat. Semoga kamu bisa teguh pada janjimu" Romy meraih tubuh Dian ke dalam pelukannya. Dian menjadi lebih tenang dan menghentikan tangisnya.

***
Sesuai janji yang disepakati, Ferry tiba di depan sebuah rumah yang cukup megah. Ia yakin, inilah alamat yang terdapat dalam kartu nama tersebut.
Setelah yakin dengan alamat rumah yang dituju, Ferry memeriksa dan menemukan tombol bel rumah. Ia pun memencetnya.
Tak ada seseorangpun yang keluar. Ia kembali memencet bel tersebut. Kembali tiada reaksi dari pemilik rumah. Agak kesal juga setelah menunggu beberapa saat, ia kembali memencet bel untuk ketiga kalinya.
Luar biasa! Gerbang rumah terbuka dengan sendirinya setelah bel ketiga dipencet meski tak ada orang yang mengerakkannya. Ferry mulai memasuki halaman rumah mewah tersebut. Pintu gerbang telah tertutup dengan sendirinya. Ia kini telah berdiri di depan pintu utama. Kembali ia temukan tombol bel rumah. Ia memencet tombol tersebut dan menunggu reaksi pemilik rumah. Tiba-tiba Ferry merasakan sebuah getaran dari lantai tempat ia berpijak. Dan...

Bruaaakh....
Lantai tempat ia berpijak amblas ke bawah. Ferry pun terjatuh. Sialnya, lantai tempat ia terjatuh memiliki kemiringan yang sangat curam hingga ia terguling sejauh sekitar 15 meter. Ia bangkit sambil menahan sakit pada tubuhnya akibat jatuh terguling.
"Hey, keluarkan aku dari sini. . . .!!" Ferry berteriak namun tidak ada yang menjawab. Lubang lantai yang amblas telah tertutup kembali.
Ferry berada di lorong yang gelap melihat ruangan yang terang di luar lorong sana. Ia pun berbalik dan berjalan menuju ruang sumber cahaya tersebut penasaran.
Sesampainya di luar lorong, Ferry merasa takjub. Ruang bawah tanah yang cukup luas dan terang benderang tak seperti yang ia ketahui biasanya. Ferry juga menyaksikan alat-alat canggih yang belum pernah ia temukan sebelumnya. Tampaknya, ini adalah laboratorium rahasia.

"Apa kabar Ferry?"
Suara tersebut benar-benar mengagetkannya dari ketakjuban yang ia alami. Ia menengok ke arah sumber suara itu.

"Profesor Indra?"

To Be Continued 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar