Powered By Blogger

Selasa, 06 Mei 2014

Sky Power

Chapter 6

"Aku tak mengerti mengapa Tuhan memberi cobaan seperti ini. Aku tak yakin apakah kau memahami apa yang sebenarnya aku rasakan. Bisa memanggil mama, papa, kepada orang yang telah melahirkan kita" Dian mengutarakan kesedihannya dengan iringan air mata yang sulit untuk ia bendung.
"Aku tak menyangka kau memiliki cerita hidup seperti ini. Tapi kau harus percaya pada orang tuamu. Kau harus tetap yakin bahwa mereka akan menemuimu. Karena mereka sayang padamu." Ferry merasa sangat prihatin atas apa yang Dian alami.
"Bertahun-tahun aku hidup di panti asuhan, dengan ketidakjelasan status orang tuaku. Bahkan tidak jarang orang-orang mengira bahwa aku adalah anak haram, anak seorang pelacur, dan kelahiranku tidak diinginkan oleh orang tuaku, hingga aku dibuang seperti sampah." Kesedihan Dian semakin menjadi.
Ferry mendekatkan diri dan membelai rambut Dian untuk menenangkannya. "Kamu tidak perlu menanggapi persepsi-persepsi orang yang seperti itu. Aku yakin orang tua adalah . . ."
"Bagaimana kamu yakin kalau mereka orang tua yang baik sementara mereka tega membuang anaknya yang masih bayi serti sampah, dan apa alasanmu tahu perasaanku sementara kau tak pernah menjalani hidup seperti aku. . . ? ? ?" ucapan Ferry terpotong oleh luapan kesedihan dari Dian yang membuatnya semakin merasa iba.
"Maafkan aku Fer, kau malah menjadi sasaran luapan emosiku" ucap Dian sambil masih terisak.
"Nggak apa-apa kok, kalau itu bisa membuatmu lebih baik, lakukan saja. Aku hanya berkeyakinan jika ini mungkin adalah keputusan terbaik yang orang tuamu ambil. Coba kamu bayangkan, belum tentu kamu bisa sekolah sampai perguruan tinggi. Dengan asumsi kalau memang kedua orang tuamu, orang tidak mampu. Walaupun aku mengerti, aku yakin kasih sayang kedua orang tua jauh lebih berharga dari itu semua." Ferry terus mencoba menenangkan dan memberi keyakinan pada Dian.
"Bunda Dewi bilang, ada sosok pria misterius yang menjadi donatur tetap di panti asuhan. Bahkan sosok tersebut sering mengirimkan uang secara khusus padaku. Dan itu rutin ia lakukan. Bunda Dewi bilang, mungkin dia adalah ayahku. Tapi aku tidak tahu. Jangankan menemuiku, sekedar memberitahukan namanya saja tidak."
"Maaf, sepertinya asumsiku salah." ujar Ferry. "Sebenarnya, kita memiliki sedikit kesamaan" lanjutnya.
"Maksudmu?" Dian bertanya heran.
"Ya, kita sama-sama hidup tanpa kasih sayang orang tua. Kedua orang tuaku meninggal akibat kecelakaan mobil waktu aku kecil, sekitar umur 4 tahun" Ferry jadi ikut sedih mengingat masa lalunya. "Sejak itu aku diasuh kakek dan nenekku sampai sekarang." lanjutnya.
"Maafkan aku Fer, gara-gara aku, kamu jadi ikut sedih."
"Nggak apa-apa kok" kata Ferry.
"Tapi setidaknya kamu tahu siapa orang tuamu dan pernah merasakan kasih sayang dari mereka" Dian kini berbalik merasa iba atas masa lalu Ferry. Ia menyandarkan kepalanya ke bahu Ferry.


Ferry membelai lembut rambut panjang Dian yang tengah bersandar di bahunya.
"Kamu benar, tapi setidaknya kamu masih punya kesempatan bertemu kedua orang tuamu. Sedangkan aku? Aku tidak akan pernah bertemu lagi dengan kedua orang tuaku, di dunia ini. Setidaknya, aku masih punya harapan untuk bertemu dengan mereka lagi di dunia ini. Meski itu cuma sebuah mimpi" Ferry terus membelai lembut rambut dan pundak Dian.
"Makasih ya Fer, kamu sudah meringankan beban kesedihanku." Dian semakin membenamkan dirinya dalam belaian lembut penuh kedamaian dari seorang pria yang begitu perhatian dan peduli padanya.
Setidaknya, ada sosok begitu membuatnya nyaman, selain Bunda Dewi yang selalu membelanya ketika ia dikucilkan atau dicemooh sejak kecil. Juga Putri, sahabat yang pertama ia kenal di kampus.

Putri yang baru saja menyelesaikan sebuah urusan, kembali ke tempat Dian ia tinggalkan. Putri terkaget melihat pemandangan yang ia saksikan di depan matanya. Dian tengah menyandarkan tubuhnya di dalam pelukan Ferry, dan tangan Ferry dengan lembut dan mesra membelai rambut dan tubuh sahabatnya tersebut. Aura panas akibat rasa cemburu mulai menjalari tubuhnya. Biar bagaimanapun juga, Putri sudah lama mengagumi pria yang kini tengah memeluk sahabatnya di depannya tersebut. Ferry maupun Dian sama sekali tidak menyadari kedatangan Putri yang tengah berdiri di belakang mereka. Dian terus berusaha menahan diri untuk tetap bersikap tenang di saat tubuhnya benar-benar bergetar seperti ada gempa yang melanda jiwa. Dia berusaha tetap berfikir positif. Dian tengah dilanda kesedihan, mungkin dengan cara seperti inilah Ferry mencoba membantu dan menghibur Dian. Meski tak sepenuhnya ia setujui cara tersebut.
Putri tentunya sudah tahu seperti apa sifat Ferry yang ia kenal sejak SMA. Meski dikenal usil, Ferry orang yang sangat peduli terhadap sesama. Ia bahkan tak segan menolong orang lain meski harus mengorbankan dirinya sendiri.
Putri masih mengingat kejadian saat SMA saat tengah menyebrang jalan, seorang pengendara motor memacu kencang kendaraanya. Dian yang tak sigap lagi untuk menghindar, masih beruntung tubuhnya terdorong oleh seorang pria hingga terjatuh. Namun ia tidak terluka sedikitpun. Ia segera bangkit dan menghampir pria yang telah menyelamatkan nyawanya tersebut. Dia adalah seorang pelajar satu sekolah dengannya. Dia terjatuh tidak jauh dari tempat ia barusan bangkit. Sementara sang pengendara motor telah kabur meninggalkan mereka.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya pria yang barusan menyelamatkannya. "Harusnya aku yang menanyakan itu padamu kak!" Putri balik tanya.
"Aku baik-baik saja kok" Ferry bangkit dan meringis menahan sakit di lengannya.
"Sakit ya?" Putri merasa kasihan dan bersalah pada pria tersebut.
"Nggak kok, ntar juga baikan. Lain kali kalau nyebrang hati-hati" sahut pria itu lalu pergi meninggalkan Putri.

Putri heran pada pria yang kini ia kenal dengan nama Ferry tersebut, seperti tidak mengalami luka apapun. Padahal dalam pandangannya, ia sempat terserempet. Putri sangat bersyukur tidak terjadi apa-apa pada dirinya dan pria yang telah menyelamatkan nyawanya tersebut.
Keesokan harinya, Putri kembali bertemu dengan Ferry di sekolah, namun dengan penampilan yang sangat membuatnya terkejut. Lengang pria yang tengah tersenyum padanya tersebut berbalut perban putih serta tergantung pada lehernya. Putri menjadi merasa bersalah. Putri lalu menghampiri.
"Kak Ferry, katanya nggak apa-apa, kok jadi diperban begini? Maaf kak, ini pasti gara-gara kejadian kemarin ya?" ucap Putri kasihan.
"Kamu gak usah khawatir, aku baik-baik aja kok! Nggak keren tahu kalau cowok nggak pernah terluka. Hehehe . . ." Ferry menjawab sambil diiringi cengiran khasnya.
"Kakak jangan sok kuat begitu" tanpa sadar Putri menepuk pundak kiri Ferry. Karuan saja Ferry menjerit kesakitan.
"Aduuhhh . . . Sakit tahu . . . ! ! !" jerit Ferry. "Ah, maaf kak, sakit kak. Sakit ya?" ujar Putri tersenyum malu seperti tanpa merasa bersalah.
"Pake nanya lagi!" jawab Ferry.
Putri masih tersenyum menyaksikan sifat konyol kakak kelasnya tersebut.

***
Putri mulai bisa menenangkan diri daripada sebelumnya.
"Ehemm. . ." Batuk palsu Putri mengagetkan Dian juga Ferry hingga mereka melepaskan pelukan masing-masing. Keduanya terlihat salah tingkah, namun Putri hanya tersenyum walau ia masih merasakan hawa cemburu atas kedekatan mereka.
"Enak nih ya, pelukan berdua. Sampe gak sadar ini tempat umum" goda Putri.
"Apaan sih, ganggu aja deb. Lagian siapa yang pelukan?" Jawab Dian yang masih terlihat tersipu malu.
"Sudah ya, saya pergi dulu. Ada jam kuliah." kata Ferry sambil siap bangkit menuju kelas.
"Makasih ya Fer" ujar Dian tersenyum terbebas dari kesedihannya. Ferry pun pergi meninggalkan mereka berdua.
"Aduh lupa. Put, kamu punya nomernya dia nggak?" kata Dian menepuk jidatnya.
"Dia siapa?"
"Ya Ferry, siapa lagi" jawab Dian.
"Ih, lama-lama jadi genit deh." ujar Putri menggoda.
"Berisik deh ah, cepetan . . ."
Putri membuka ponselnya dan menyebutkan nomer Ferry. Mereka lalu pergi meninggalkan taman kampus.

Dian dan Ferry semakin akrab berkat kejadian itu. Mereka sering menghabiskan waktu luang bersama, entah hanya sekedar ngobrol, makan ataupun kegiatan lain.
Putri bukannya tak suka dengan kedekatan Dian dan Ferry. Karena ia sangat mengagumi Ferry sejak lama. Namun buat apa juga ia ribut dengan sahabatnya hanya karena cowok. Namun ia juga bingung apa yang harus ia lakukan. Haruskah ia relakan hati terkuka demi sahabat, ataukah ia perjuangkan cintanya meski rintangan akan hadir dari sahabatnya itu. Sebuah keputusan yang sangat menyakitkan baginya yang memiliki sifat sangat lembut terhadap siapapun , apalagi sahabatnya.

To Be Continued

Tidak ada komentar:

Posting Komentar